Selamat datang di website resmi SMAS Panca Setya Sintang! Dapatkan informasi terbaru di sini!

Dilema Guru dan Teknologi: Apakah Gereja Masih Relevan dalam Pendidikan Gen Z?

Tantangan Moral di Era Digital

Teknologi telah membawa dampak besar pada kehidupan sehari-hari, khususnya bagi generasi muda yang dikenal sebagai Generasi Gen Z. Di satu sisi, teknologi menyediakan akses cepat ke informasi, peluang pembelajaran, dan inovasi. Namun, di sisi lain, ketergantungan pada gadget atau gawai telah mengikis nilai-nilai moral dan etika. Anak-anak dan remaja sering kali lebih terfokus pada layar daripada berinteraksi secara nyata dengan dunia di sekitarnya. Mereka semakin jauh dari dialog langsung yang mengajarkan empati, tanggung jawab sosial, dan integritas pribadi.

Para guru, yang seharusnya menjadi pelindung etika dan moralitas, kini berada di titik dilematis. Mereka merasa terkekang oleh aturan formal yang sering kali membatasi kreativitas dalam mengajar. Sering kali, pendekatan mendidik yang bersifat holistik — yang menekankan pada pengembangan spiritual dan moral siswa — tergeser oleh target-target akademis semata. Ini menjadi sebuah masalah, karena pendidikan bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tetapi juga karakter.

Di tengah situasi ini, muncul pertanyaan: sejauh mana ajaran Katolik dan peran Gereja dapat menjadi solusi dalam membimbing Generasi Gen Z, yang cenderung teralienasi dari nilai-nilai dasar kehidupan manusia?

Ajaran Iman Katolik sebagai Solusi

Gereja Katolik memiliki kekayaan ajaran moral yang sangat relevan dalam menghadapi persoalan ini. Kitab Suci dan tradisi Gereja mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pengembangan spiritualitas. Gereja mengingatkan kita bahwa teknologi, pada dasarnya, adalah alat yang seharusnya melayani manusia dan tidak sebaliknya. Namun, saat ini, kita melihat bagaimana teknologi sering kali mendominasi kehidupan manusia, mengancam hubungan manusia dengan sesama dan Tuhan.

Dalam konteks pendidikan, nilai-nilai Katolik seperti kasih, martabat manusia, keadilan, dan penghargaan terhadap ciptaan Tuhan harus ditekankan. Guru, yang berperan sebagai pembimbing moral, seharusnya tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga mengajak peserta didik untuk berpikir kritis tentang dampak teknologi terhadap kehidupan spiritual mereka. Ajaran iman Katolik yang mendalam tentang kesederhanaan hidup, disiplin, dan pengendalian diri bisa menjadi dasar kuat dalam mendidik generasi yang lebih cenderung bergantung pada teknologi.

Kita bisa mengambil inspirasi dari ajaran Kristus yang menekankan cinta kasih dan tanggung jawab terhadap sesama. Dalam menghadapi Generasi Gen Z, yang sering terisolasi di balik layar gadget, guru perlu berperan aktif untuk membangun hubungan personal yang mendalam dengan peserta didiknya, seraya menanamkan nilai-nilai kekatolikan yang kokoh.

Peran Gereja yang Lebih Nyata

Namun, ajaran nilai Katolik tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan tindakan nyata. Peran Gereja dalam menghadapi krisis moral di era digital ini harus lebih dari sekadar memberikan panduan umum. Gereja perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk menumbuhkan kesadaran kolektif tentang bahaya teknologi yang tidak diawasi dan peranannya dalam membina generasi muda.

Pertama, Gereja harus keluar dari zona rutinitas dan formalitas yang terkadang hanya berfokus pada agenda yang sudah terjadwal. Gereja perlu lebih proaktif dalam melibatkan diri dalam pendidikan moral anak-anak dan remaja, baik di sekolah-sekolah Katolik maupun dalam lingkungan keluarga. Misalnya, Gereja dapat menyediakan program-program pembinaan untuk orang tua, guru, dan kaum muda tentang bagaimana memanfaatkan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab.

Kedua, paroki-paroki dapat menginisiasi gerakan untuk membatasi penggunaan gadget dalam konteks-komunitas menggereja. Program “Hari Tanpa Gadget” atau sesi retret yang fokus pada kontemplasi, doa, dan dialog langsung tanpa distraksi teknologi bisa menjadi langkah nyata untuk membangun kesadaran kolektif. Ini juga merupakan kesempatan bagi Gereja untuk mengajarkan kembali nilai-nilai seperti disiplin spiritual, pengendalian diri, dan keterlibatan aktif dalam kehidupan nyata.

Ketiga, gereja perlu memberikan dukungan nyata kepada para guru dalam menavigasi tantangan pendidikan di era digital. Pelatihan-pelatihan dan seminar yang difokuskan pada pendekatan pedagogis berbasis nilai-nilai kekatolikan, dengan menekankan pengembangan moral dan karakter, bisa sangat membantu. Gereja bisa menjadi ruang refleksi bagi para guru yang merasa terjebak dalam aturan-aturan pendidikan yang kaku, membantu mereka menemukan cara yang lebih kreatif dan spiritual untuk mendidik.

Korelasi Antara Teknologi dan Kehidupan Menggereja

Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi juga memiliki peran positif dalam kehidupan menggereja. Gereja menggunakan teknologi untuk menyebarkan Firman Tuhan melalui media sosial, aplikasi doa, atau siaran langsung Misa Kudus. Namun, teknologi tidak boleh menjadi pengganti relasi personal yang merupakan inti dari kehidupan iman. Gereja harus memastikan bahwa teknologi digunakan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti pengalaman iman yang mendalam dan otentik.

Penggunaan teknologi dalam konteks menggereja harus diarahkan untuk memperkuat komitmen spiritual umat, bukan malah mengalienasi mereka dari kehidupan komunitas dan sakramen. Peran pastor, pemimpin umat, dan guru agama di sini sangat penting untuk terus mengingatkan umat bahwa iman Katolik mengajarkan tentang pentingnya kehadiran nyata, doa bersama, dan keterlibatan aktif dalam komunitas.

Inspirasi dari Ajaran Katolik

Dalam menghadapi situasi ini, kita dapat menarik inspirasi dari ajaran iman Katolik yang berfokus pada nilai-nilai kasih, pelayanan, dan pengorbanan. Kasih yang sejati menuntut keterlibatan aktif dalam kehidupan sesama, dan tidak bisa hanya disalurkan melalui teknologi. Pelayanan kepada sesama, terutama kepada generasi muda, harus dilakukan dengan kesadaran penuh akan martabat setiap individu sebagai citra Allah. Gereja juga menekankan pentingnya pengorbanan, di mana kita diajak untuk meninggalkan kenyamanan pribadi termasuk kenyamanan yang ditawarkan oleh teknologi — demi kebaikan bersama.

Kesimpulannya, pendidikan Generasi Gen Z memerlukan sinergi antara guru, keluarga, dan Gereja. Gereja harus lebih proaktif dalam memberikan inspirasi dan solusi nyata dalam menghadapi tantangan teknologi, seraya tetap setia pada ajaran Kristiani yang menekankan kasih, martabat manusia, dan kedalaman spiritual. Dengan demikian, generasi masa depan dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga berbudi pekerti luhur.

 

–Yohanes Marianus Madu–

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *