Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Jelajah Waktu 1928

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas X AM

Pagi di Desa Sukomerjo selalu dimulai dengan nyanyian ayam jantan dan gemericik air yang mengalir dari parit kecil di belakang rumah. Kabut menari di antara batang padi, seolah enggan pergi dari tanah yang subur itu. Di dalam sebuah rumah panggung sederhana, seorang anak laki-laki bernama Tomo terbangun oleh batuk ibunya. Suaranya serak, tapi lembut—suara yang selalu membuat Tomo merasa tenang sekaligus bersalah.

“Bu, istirahat saja. Biar Tomo yang ke ladang hari ini,” katanya sambil memegang tangan ibunya yang kurus.
Bu Idah tersenyum samar, menggeleng pelan. “Kau masih kecil, Nak. Ibu harus bekerja. Beras di lumbung hampir habis.”

Tomo menunduk. Ia benci kenyataan bahwa ibunya harus memanggul cangkul setiap hari sementara dirinya hanya bisa belajar menulis huruf di papan bambu. Tapi dalam diam, ia berjanji: suatu hari, ia akan membuat ibunya berhenti bekerja keras.

Hari itu, diam-diam Tomo mengikuti ibunya ke ladang. Ia bersembunyi di balik semak dan berjalan di belakangnya. Namun langkahnya terhenti ketika dari kejauhan ia melihat sekelompok penjajah Belanda dengan cambuk di tangan, berteriak kepada para petani yang menunduk ketakutan.

“Kerja lebih cepat! Tanah ini milik pemerintah!”
Salah satu petani yang lambat dipukul. Tomo terpaku. Matanya bergetar, napasnya memburu. Ia ingin berlari, tapi kakinya membeku. Di matanya, dunia yang damai seketika berubah menjadi tempat yang kejam.

Ketika pulang, wajahnya pucat. Bu Idah yang baru kembali dari ladang menatap anaknya cemas.
“Tomo, kenapa? Kau sakit?”
Tomo terdiam lama sebelum menjawab, “Bu, kenapa orang-orang itu disakiti padahal mereka hanya bekerja?”
Bu Idah terdiam. “Karena mereka tak punya kekuatan, Nak. Karena mereka belum bersatu.”

Kata-kata itu melekat di benak Tomo seperti pahatan batu. Sejak hari itu, ia tak lagi malas. Ia mulai belajar membaca dari buku lusuh yang diberikan guru kampungnya, Pak Sastro. Ia membaca tentang tanah air, tentang perjuangan, tentang impian yang belum sempat diwujudkan.

Tahun-tahun berlalu, dan Tomo tumbuh menjadi pemuda yang cerdas. Ibunya semakin tua, tapi kali ini ia bisa tersenyum karena anaknya mulai sering mengajar anak-anak kecil di balai desa.

“Ibu, aku ingin merantau ke Batavia,” kata Tomo suatu malam. “Aku ingin belajar lebih banyak, ingin bantu orang-orang agar tidak ditindas lagi.”
Bu Idah menatapnya dengan mata berkaca. “Pergilah, Nak. Tapi jangan lupakan asalmu. Di mana pun kau berada, darahmu tetap tanah ini.”

Batavia menyambutnya dengan hiruk pikuk. Gedung-gedung tinggi, suara becak, teriakan pedagang, dan aroma kopi bercampur debu menyapa setiap pagi. Di kota inilah Tomo bertemu para pemuda dari berbagai pulau—Sulawesi, Sumatera, Bali, hingga Maluku. Mereka datang dengan tujuan yang sama: menuntut ilmu dan memperjuangkan nasib bangsanya.

Malam-malam mereka diisi dengan diskusi di rumah kos kecil yang pengap tapi penuh semangat. Di antara suara jangkrik, terdengar cita-cita yang lahir dari hati yang sama.
“Bayangkan, kita berbeda suku, berbeda bahasa, tapi kita bisa duduk bersama seperti ini,” kata Amir, pemuda asal Sulawesi.
Tomo mengangguk. “Itulah yang harus kita tunjukkan pada dunia. Bahwa Indonesia bukan sekadar pulau-pulau terpisah, tapi satu tubuh, satu jiwa.”

Hari demi hari, semangat mereka semakin besar. Mereka menulis, berpidato, dan mengajak pemuda lain untuk bersatu. Pada tanggal 28 Oktober 1928, mereka berkumpul dalam ruangan sederhana di Jalan Kramat Raya. Hujan deras mengguyur luar, namun di dalam ruangan itu, bara semangat tak padam.
Satu per satu berdiri, mengucapkan ikrar yang kelak menggema di seluruh Nusantara:

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Ketika suara mereka berpadu, Tomo merasakan sesuatu menggetarkan dadanya. Seolah masa depan berbisik lewat derasnya hujan: inilah awalnya, inilah rumahmu yang sejati.


Bertahun-tahun kemudian, Tomo pulang ke Sukomerjo. Ibunya sudah renta, duduk di teras rumah menatap sawah yang mulai menguning.
“Bu…” suaranya bergetar. “Indonesia sudah berubah. Sekarang kita punya bahasa sendiri, bendera sendiri, harapan sendiri.”
Bu Idah tersenyum, matanya basah. “Ibu tahu kau akan menepati janjimu.”

Senja turun perlahan. Cahaya keemasan jatuh di wajah ibu dan anak itu. Di udara yang hening, suara jangkrik seakan bernyanyi untuk tanah yang kini bebas.
Tomo memejamkan mata, menghirup aroma padi dan tanah. Dalam napasnya, ia rasakan sesuatu yang dulu hanya impian—persatuan.

Dan di hatinya, ia tahu: Sumpah Pemuda bukan hanya milik tahun 1928. Ia hidup di setiap generasi yang berani bermimpi dan berbuat untuk bangsanya.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar:

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen