Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Semangat Muda Dalam Berpendapat

Semangat Muda dalam Berpendapat

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas X SS

Hujan turun pelan-pelan di halaman SMA Nusantara pagi itu, seperti ingin menenangkan hiruk pikuk para siswa yang sibuk menyiapkan acara debat antar kelas. Lantai koridor basah dan berkilau seperti cermin, memantulkan langkah kaki penuh semangat para peserta.

Di antara mereka, berdiri seorang siswi bernama Sinta Sari. Wajahnya serius, matanya memancarkan tekad. Ia terpilih menjadi ketua tim debat kelas X SS. Tema tahun ini: “Pemuda dan Tanggung Jawab Sosial di Era Modern.”

Sinta menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Temannya, Rafi, menepuk pundaknya.
“Tenang aja, Sin. Kita udah latihan berhari-hari. Kamu pasti bisa.”
Sinta tersenyum tipis. “Aku bukan takut kalah, Raf. Aku cuma takut suaraku nggak didengar.”


Sejak kecil, Sinta sudah belajar bahwa bicara benar tak selalu mudah. Ayahnya seorang guru yang sering mengajarinya tentang arti keberanian dan kejujuran.

“Berpendapat itu hak, Nak,” katanya suatu malam, “tapi gunakan dengan tanggung jawab. Jangan untuk menjatuhkan, tapi untuk membangun.”

Kata-kata itu terus menempel di benak Sinta. Ia percaya, suara seorang pemuda bisa menjadi cahaya bagi banyak orang — asal disuarakan dengan hati.

Namun semangat itu diuji ketika lomba debat dimulai. Lawan timnya adalah kelas XI IPA, yang dipimpin oleh Dimas — siswa cerdas, kritis, tapi juga terkenal sombong. Dari awal, Dimas berbicara lantang dan tajam, kadang dengan nada merendahkan.
“Anak kelas sepuluh seharusnya belajar dulu sebelum bicara soal tanggung jawab sosial,” katanya disertai senyum sinis.

Sinta berdiri, mencoba menahan emosi. Ia menatap Dimas lurus. “Kami memang lebih muda, tapi semangat kami tak kalah besar. Justru karena muda, kami harus belajar bersuara dengan jujur.”

Sorak sorai penonton terdengar. Dimas tersenyum miring. “Kata-kata indah tidak selalu berarti benar.”
Sinta balas tersenyum. “Tapi kebenaran sering dimulai dari kata yang berani diucapkan.”

Pertarungan argumen pun memanas. Kata-kata beterbangan seperti anak panah. Sinta berbicara dengan tenang tapi tajam. Ia mengutip contoh pemuda masa kini yang berjuang lewat aksi sosial dan literasi digital.

“Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah,” ujarnya mantap.
“Itu kompas moral bagi kita untuk berani menyatukan suara, bukan membungkamnya.”

Sorakan penonton makin ramai. Bahkan beberapa guru tampak mengangguk kagum.

Namun menjelang akhir, Dimas melakukan serangan pribadi.
“Kalau kamu bicara soal tanggung jawab sosial, kenapa kamu pernah menolak ikut kegiatan bakti lingkungan bulan lalu?” katanya lantang.

Sinta terpaku. Ia tak menyangka Dimas tahu hal itu. Benar, waktu itu ia tidak ikut karena harus menjaga ibunya yang sakit. Tapi ia tak sempat menjelaskan pada panitia, dan gosip pun menyebar.

Ruangan hening. Semua mata tertuju padanya. Di dada, jantung Sinta berdentum keras. Ia bisa saja membela diri dengan marah, tapi tiba-tiba ia teringat kata ayahnya: “Jujur lebih berat dari berani.”

Ia menatap juri dan penonton, lalu berkata pelan tapi jelas,
“Ya, saya tidak ikut bakti lingkungan waktu itu. Tapi bukan karena saya tidak peduli. Ibu saya sedang sakit, dan saya memilih menjaganya. Dan hari ini, saya berdiri di sini untuk menunjukkan bahwa kepedulian tidak hanya lewat tenaga, tapi juga lewat suara dan tindakan nyata.”

Suasana mendadak sunyi. Dimas menunduk, tampak menyesal. Salah satu guru juri menatap Sinta dengan mata lembut.
“Terima kasih sudah jujur,” katanya.

Beberapa detik kemudian, ruangan meledak oleh tepuk tangan panjang. Rafi yang duduk di barisan depan bersorak paling keras. “Itu dia, Sinta kita!”


Setelah debat berakhir, juri mengumumkan hasilnya. “Juara pertama lomba debat Sumpah Pemuda tahun ini… kelas X SS!”
Sinta menutup mulutnya, hampir tak percaya. Dimas datang menghampirinya dan menjabat tangannya.
“Kamu hebat, Sinta. Aku belajar sesuatu hari ini: kadang kekuatan sejati bukan pada siapa yang paling pintar bicara, tapi siapa yang paling tulus.”

Sinta tersenyum. “Kita semua belajar, Dim. Karena bangsa yang besar bukan dibangun oleh orang yang menang debat, tapi oleh mereka yang mau saling menghargai.”


Malam harinya, Sinta duduk di balkon rumah. Angin lembut membawa aroma tanah basah sisa hujan sore. Di meja kecil di depannya tergeletak piala dan sertifikat lomba. Tapi yang paling berharga bagi Sinta bukan itu — melainkan rasa damai di hatinya.

Ayahnya datang membawa dua cangkir teh.
“Bangga, Nak,” katanya.
Sinta mengangguk pelan. “Aku cuma ingin belajar bersuara tanpa menyakiti.”
Ayahnya menatap langit yang dihiasi bulan sabit. “Begitulah cara pemuda menjaga negeri — bukan dengan teriak paling keras, tapi dengan berbicara paling benar.”

Sinta menatap langit juga. Dalam diam, ia merasa seperti mendengar gema dari masa 1928, suara para pemuda yang bersumpah dengan semangat yang sama: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.

Ia menulis satu kalimat di buku hariannya malam itu:

“Menjadi pemuda berarti berani berpendapat, berani jujur, dan berani menghargai.”

Dan di bawah cahaya bulan yang menetes lembut, Sinta tersenyum. Ia tahu, selama masih ada anak muda yang berani berkata benar, Indonesia takkan pernah kehilangan arah.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen