Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Memperingati Hari Sumpah Pemuda

Memperingati Hari Sumpah Pemuda

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas X AA

Langit pagi itu seolah tengah melukis dirinya sendiri dengan sapuan warna oranye lembut di atas kanvas awan. Di halaman SMA Panca Setya Sintang, deretan bendera merah putih berkibar pelan diterpa angin yang membawa aroma embun dan harapan. Hari ini, tanggal 28 Oktober, sekolah bersiap memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Asep berdiri di depan cermin kamar dengan pakaian adat Sunda yang disiapkan ibunya. Sentuhan tangan ibu terasa masih melekat di kerah bajunya. “Jangan lupa tersenyum ya, Nak,” pesan ibunya pagi tadi sambil menepuk bahu Asep.
Senyum itu kini berubah menjadi semangat kecil yang berdenyut di dadanya.

Di sekolah, suasana seperti pesta warna. Ada yang mengenakan baju adat Batak, Dayak, Minang, dan Bugis. Ada pula yang berdandan sebagai dokter, polisi, hingga pahlawan nasional. Setiap warna, setiap kain, setiap raut wajah, seolah menyanyikan satu lagu yang sama: kita berbeda, tapi satu jiwa.

Saat peluit pembina upacara berbunyi, keramaian itu seketika hening. Bendera merah putih perlahan naik, mengudara di antara sorot mata puluhan siswa.
Asep berdiri tegak. Angin menepuk pipinya lembut, seolah ikut berikrar. Dalam getaran lagu Indonesia Raya yang bergema, ia merasakan sesuatu—bukan sekadar upacara, tapi sebuah panggilan: untuk mengingat, untuk meneruskan.

Setelah upacara, halaman sekolah berubah menjadi ruang riang penuh canda. Tenda-tenda lomba berdiri, spanduk bertuliskan “Bersatu dalam Perbedaan, Semangat Pemuda Indonesia!” melambai-lambai di udara.
Asep duduk di bawah pohon ketapang bersama tiga sahabatnya—Grace, Viktor, dan Selia.

“Eh, kalian ikut lomba apa?” tanya Selia sambil menggigit roti keju yang ia beli di kantin.
“Aku ikut lomba menggambar tokoh pahlawan,” jawab Viktor sambil memamerkan pensil mekaniknya.
Grace menyeringai. “Yakin bisa? Jangan-jangan nanti yang kamu gambar malah mirip kamu sendiri.”
Tawa mereka pecah, ringan dan jujur.

Namun, di balik canda itu, Asep diam-diam menatap bendera di kejauhan. Ia merasa, ada sesuatu yang lebih dari sekadar lomba hari ini—semacam api kecil yang ingin ia jaga tetap menyala.

Ketika lomba dimulai, Asep dan teman-temannya berdiri di sisi lapangan, menyemangati Viktor yang sedang menggambar di atas kanvas besar. Tangannya menari, garis demi garis membentuk wajah Soekarno yang tegas namun penuh cahaya.
“Lihat, tangannya kayak dikejar sejarah,” gumam Asep.
Grace mengangguk. “Mungkin begitu rasanya kalau cinta sama tanah air—nggak bisa diam.”

Beberapa jam kemudian, saat matahari mulai condong, semua peserta berkumpul menanti pengumuman. Guru pembina berdiri di panggung kecil dengan daftar nama di tangan.
“Juara tiga lomba menggambar… Viktor dari kelas X AA!”
Tepuk tangan menggema. Viktor menunduk dengan wajah tak percaya. “Serius aku menang?” katanya terbata-bata.
Asep memeluknya dari belakang. “Tuh kan, semangat nggak pernah bohong!”

Mereka bersorak. Namun di sela tawa itu, Asep melihat seorang siswa dari kelas lain berdiri sendiri di tepi lapangan, memandangi langit dengan wajah murung. Asep mendekatinya.
“Kenapa, bro? Kamu ikut lomba juga?”
“Iya,” jawab anak itu lirih. “Aku gagal. Gambarku robek waktu mau dikumpul.”
Asep terdiam sejenak, lalu menepuk pundaknya. “Dengar, perjuangan itu nggak selalu soal menang. Kadang kalah pun bisa jadi cara terbaik untuk belajar bangkit. Sama kayak Sumpah Pemuda—mereka juga nggak langsung menang, tapi mereka nggak pernah berhenti percaya.”

Anak itu tersenyum tipis, dan di matanya muncul kilau kecil, seperti bara yang baru menyala.

Menjelang sore, ketika acara usai dan halaman sekolah mulai sepi, Asep berdiri lagi di depan tiang bendera.
Ia teringat ucapan ibunya, tawa teman-temannya, semangat Viktor, dan mata murung anak yang ia hibur tadi.
Semua itu seperti potongan warna yang menyatu dalam satu lukisan besar bernama Indonesia.

Angin sore berhembus lembut, mengibaskan ujung bendera yang masih berdiri tegak.
Asep menatapnya lama, lalu berbisik, “Sumpah Pemuda bukan hanya tiga kalimat, tapi cara kita hidup setiap hari.”

Ia berjalan pulang dengan langkah ringan. Di belakangnya, bayangan merah putih memanjang di tanah, seperti pelukan masa lalu untuk generasi masa kini.
Dan di dada Asep, tumbuh keyakinan yang tak lagi kecil: bahwa menjadi pemuda Indonesia berarti mencintai tanpa syarat, bekerja sama tanpa pamrih, dan bertanggung jawab tanpa harus disuruh.

Langit berwarna jingga, tapi di hati Asep, mentari baru justru terbit—mentari dari semangat yang tak pernah padam.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen