3 Pemuda yang Berjiwa Kepahlawanan
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XI FX
Fajar baru menyingsing di atas langit Nusantara. Embun masih menempel di dedaunan, dan sinar mentari menembus sela-sela pepohonan. Di sebuah gubuk sederhana di pinggir kota kecil, tiga pemuda duduk melingkar di teras rumah kayu. Mereka adalah Bung Rusdi, Tom Lalok, dan Van Abu Edy Lee Deng — tiga sahabat yang bersatu oleh satu tekad: membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
Udara pagi itu membawa aroma perjuangan. Bung Rusdi, pemuda berjiwa kepemimpinan dengan mata tajam dan langkah mantap, menatap jauh ke arah timur. “Suatu hari nanti,” katanya pelan, “merah putih akan berkibar tanpa rasa takut.”
Di sebelahnya, Tom Lalok, pemuda jenius dengan kacamata tebal, mengetuk-ngetuk meja kayu dengan jari. “Aku percaya, tapi kadang aku berpikir… apakah kita mampu menghadapi Belanda dengan kekuatan sekecil ini?”
Sebelum Bung Rusdi sempat menjawab, Lee Deng — pemuda tegas dan berani yang tak pernah tahan mendengar keraguan — menepuk pundak Tom.
“Eh, guys, kalian dengar berita di radio tadi pagi, kan? Katanya di DKI Jakarta akan diadakan pertemuan antara pemuda-pemudi Indonesia dan pihak Belanda yang dipimpin oleh Ambatukam!” Matanya berkilat penuh semangat. “Ini kesempatan emas buat kita ikut berjuang!”
Bung Rusdi tersenyum lebar. “Ayo saja, aku pun ingin melihat langsung bagaimana pemuda-pemudi dari seluruh Nusantara bersatu. Kita bisa belajar, bisa dapat koneksi, dan teman seperjuangan baru.”
Namun Tom Lalok justru menggeleng cepat. “Aku tidak mau ikut. Aku takut.”
Lee Deng mengerutkan dahi. “Takut kenapa, Lalok? Kau ini pintar, jenius! Tapi apa gunanya kepintaran kalau tak disertai keberanian? Jangan jadi pengecut, Lalok. Negeri ini butuh orang seperti kamu untuk bersuara!”
Tom menunduk. “Aku hanya takut kalau kita bicara demi Indonesia, lalu kita dibunuh,” katanya lirih. Hujan gerimis mulai turun, seolah langit ikut merasakan ketakutan di hatinya.
Suasana menjadi hening. Hanya suara radio yang masih mengumandangkan lagu perjuangan pelan-pelan di latar. Bung Rusdi bangkit berdiri, menatap dua sahabatnya dengan mata berapi.
“Sudah, jangan bertengkar! Kita semua punya ketakutan, tapi kalau kita saling berdebat tanpa arah, bagaimana bangsa ini bisa bersatu?” suaranya berat tapi tenang. “Lalok, dengar aku baik-baik. Keberanian bukan berarti tidak takut — keberanian adalah tetap melangkah meski kau gemetar.”
Lee Deng menunduk, menyeka air hujan dari wajahnya. “Benar kata Bung Rusdi. Bangsa ini butuh pemuda yang bersatu, bukan yang mundur.”
Tom Lalok terdiam lama. Di matanya, tampak pergulatan batin. Lalu perlahan ia mengangkat kepala, suaranya bergetar tapi tegas.
“Benar juga kata kalian. Mungkin selama ini aku terlalu takut melihat kekerasan penjajah, tapi aku tahu… kalau kita diam, mereka tak akan berhenti menindas.”
Bung Rusdi tersenyum. “Nah, itu baru semangat pemuda Indonesia.”
Lee Deng menepuk bahu Tom. “Ayo, kawan. Hidupkan api di dada. Demi bangsa kita!”
Hari berikutnya, ketiganya berangkat ke Jakarta dengan menumpang truk pedagang hasil bumi. Perjalanan panjang dan berdebu tak mereka hiraukan. Di sepanjang jalan, mereka melihat wajah-wajah rakyat kecil yang tetap tersenyum meski hidup di bawah tekanan kolonial. Setiap tatapan orang-orang itu menambah tekad mereka untuk berbuat sesuatu.
Sesampainya di Jakarta, kota itu sibuk dan penuh ketegangan. Spanduk bertuliskan Kongres Pemuda II terbentang di gedung tua berwarna putih. Mereka bertiga berhenti di depan gedung itu, menatapnya dengan takjub.
“Apa kita benar-benar bisa masuk?” tanya Tom ragu.
Lee Deng menepuk dadanya. “Kita pemuda Indonesia, bukan pengemis! Kalau niat kita tulus, mereka pasti menerima kita.”
Bung Rusdi menambahkan, “Kita di sini bukan untuk mencari nama, tapi untuk menyuarakan cita-cita bangsa: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.”
Mereka pun melangkah masuk. Di dalam, ruangan penuh dengan pemuda dari berbagai daerah — Jawa, Sumatra, Sulawesi, Maluku. Bahasa mereka berbeda, pakaian mereka beragam, tapi semangat mereka sama: persatuan Indonesia.
Saat diskusi berlangsung, Bung Rusdi berdiri dan menyampaikan pendapat dengan suara lantang, “Kita semua berbeda suku dan bahasa, tapi kita satu dalam tujuan: kemerdekaan bangsa!”
Sorak-sorai memenuhi ruangan. Bahkan beberapa tokoh pemuda terkenal menatap mereka kagum.
Tom Lalok yang tadi gugup kini ikut berbicara. Suaranya masih gemetar, tapi matanya penuh keyakinan. “Kalau pemuda diam, siapa lagi yang akan bicara untuk masa depan negeri ini?”
Lee Deng menambahkan, “Kita mungkin hanya tiga pemuda dari pelosok, tapi bersama-sama, suara kita bisa mengguncang penjajahan.”
Ruangan itu bergetar oleh tepuk tangan panjang. Mereka bertiga saling pandang — tak lagi ada ketakutan, hanya semangat yang membara.
Malam itu, selepas kongres berakhir, mereka duduk di tangga gedung sambil menatap langit Jakarta yang diterangi bintang-bintang.
Bung Rusdi berkata pelan, “Hari ini kita bukan hanya hadir di pertemuan, tapi juga menjadi bagian dari sejarah.”
Tom Lalok tersenyum kecil. “Aku bersyukur kalian tidak menyerah padaku.”
Lee Deng menatap bendera merah putih yang berkibar di kejauhan. “Kita mungkin hanya tiga orang, tapi semangat kita bisa menyalakan api di dada ribuan pemuda lain.”
Dan di bawah cahaya bulan malam itu, mereka bertiga berjanji dalam hati: akan terus berjuang demi persatuan dan kemerdekaan Indonesia, apapun rintangannya.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen