Pemantik di Tengah Kegelapan
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XI SS
Langit Jepara sore itu memancarkan warna jingga keemasan, seolah menari di antara awan yang perlahan berarak menuju senja. Di balik jendela besar sebuah pendopo, seorang gadis kecil duduk termenung, menatap cakrawala yang mulai meredup. Cahaya sore menimpa wajahnya yang lembut namun menyimpan kedalaman jiwa yang tidak biasa. Dialah Raden Ajeng Kartini — gadis bangsawan yang hatinya lebih luas dari laut Jawa, dan cita-citanya lebih tinggi dari langit tempat matahari berlabuh.
Meski ia lahir di keluarga terpandang — putri dari Raden Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara — takdir justru menjadikannya tawanan adat. Pada usia dua belas tahun, ketika seharusnya dunia menjadi halaman luas untuk belajar dan berlari mengejar mimpi, ia justru dikurung di balik tembok tebal tradisi.
Hidupnya berubah seperti burung yang dipaksa berhenti mengepakkan sayap, padahal langit di atasnya terbentang begitu luas. Setiap kali melihat para lelaki berjalan gagah menuju sekolah ELS — tempat ia dulu belajar — dadanya serasa diremas. “Mengapa aku harus berhenti bermimpi hanya karena aku perempuan?” bisiknya dalam hati.
Namun, Kartini tidak pernah membiarkan mimpinya benar-benar padam. Di balik jeruji adat itu, ia menulis — menulis surat, menulis perasaan, menulis impian yang ia titipkan pada pena dan kertas. Setiap goresan tinta baginya adalah api kecil, pemantik yang ia nyalakan di tengah kegelapan yang menelan suara perempuan pada zamannya.
“Aku ingin menjadi cahaya,” tulisnya suatu sore,
“cahaya yang menembus tembok, menembus batas, agar perempuan tak lagi berjalan dalam gelap.”
Hari itu, keberanian yang lama disimpannya akhirnya pecah. Ia memberanikan diri berbicara kepada ayahandanya.
“Ayahanda,” ujarnya lembut namun tegas, “izinkan Kartini mengutarakan isi hati.”
Sosroningrat menatap putrinya dengan tatapan lembut bercampur heran. “Katakanlah, Putriku. Apa yang kau inginkan?”
“Aku ingin mendirikan sekolah untuk perempuan, Ayah. Aku ingin mereka bisa menggapai ilmu setinggi-tingginya seperti para lelaki.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara angin sore yang lewat di sela daun jati. Sosroningrat terdiam lama — antara bangga dan bimbang. Ia tahu, apa yang diinginkan Kartini bukan perkara mudah.
Namun setelah beberapa saat, sang ayah tersenyum kecil. “Apapun untuk putriku,” katanya lirih, “kalau niatmu suci, Ayah akan mendukungmu.”
Kalimat itu bagai air yang menyiram api harapan Kartini, bukan untuk memadamkan, tapi untuk membuatnya menyala lebih terang.
Beberapa hari kemudian, di rumah keluarga bupati itu terdengar suara riang para perempuan muda. Mereka duduk melingkar, berbincang dengan semangat yang menular. Di antara mereka, Kartini menjadi pusat perhatian — bukan karena darah bangsawannya, tapi karena cahaya dari pikirannya.
Ia berbicara dengan mata yang berkilau. “Kita, para perempuan, tidak diciptakan hanya untuk menunggu. Kita diciptakan untuk berpikir, untuk berkarya, untuk berdiri sejajar.”
Suara tawa dan harapan memenuhi ruangan itu. Di saat itulah, api kecil yang dinyalakan Kartini mulai menjalar dari hati ke hati, dari kata ke kata, menyalakan keberanian di dada para perempuan Jepara.
Tahun-tahun berlalu, Kartini tumbuh menjadi wanita muda yang cerdas dan lembut hati. Surat-suratnya yang dikirim kepada sahabat pena di Belanda — seperti Estelle “Stella” Zeehandelaar — menjadi saksi semangatnya melawan keterkungkungan zaman.
Namun, takdir kembali menguji. Ia dijodohkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang bangsawan dari Rembang. Banyak yang mengira api perjuangannya akan padam setelah menikah. Tapi mereka salah. Justru di rumah barunya di Rembang, Kartini menemukan ladang baru untuk menanam benih mimpinya.
Dengan dukungan penuh dari suaminya, ia mendirikan sekolah untuk perempuan pribumi — tempat pertama di mana kaum wanita bisa membaca, menulis, dan mengenal dunia. Sekolah itu menjadi bukti bahwa tekad dan kasih sayang dapat mengalahkan batas adat dan zaman.
Sayangnya, cahaya itu tak lama menerangi dunia. Pada usia dua puluh lima tahun, Kartini berpulang setelah melahirkan anak pertamanya.
Namun, meski tubuhnya tiada, nyalanya tak pernah padam.
Surat-suratnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku Door Duisternis Tot Licht — “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Dari balik kegelapan masa lalu, kata-kata itu menjadi obor yang menyala di hati bangsa.
Kini, setiap kali perempuan Indonesia melangkah dengan kepala tegak, setiap kali seorang gadis menulis, belajar, dan bermimpi, di sanalah semangat Kartini hidup kembali — sebagai pemantik di tengah kegelapan, sebagai sinar yang menembus waktu.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen