Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Hari Dimana Teringatnya Sumpah Pemuda

Hari Dimana Teringatnya Sumpah Pemuda

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XII SF

Hari itu, langit sore menampakkan warna oranye yang lembut. Angin berhembus perlahan, meniup dedaunan yang gugur di halaman rumah Rani, seorang siswi kelas satu SMA. Di pundaknya masih tergantung tas sekolah, langkahnya pelan saat memasuki rumah yang tampak sepi.

Begitu membuka pintu, pandangannya tertuju pada tumpukan cucian di dapur dan piring kotor di meja makan. Ia menghela napas panjang. “Banyak sekali pekerjaan rumah hari ini,” gumamnya kecil. Ia bergegas menggulung lengan seragamnya, bersiap mencuci, namun langkahnya terhenti saat suara notifikasi ponsel berbunyi nyaring.

“Ding!”

Layar ponselnya menampilkan deretan ucapan dari teman-teman di media sosial:

Selamat Hari Sumpah Pemuda!
Mari kobarkan semangat persatuan dan perjuangan!

Rani terpaku. Matanya menatap layar beberapa detik, lalu perlahan senyumnya memudar. “Oh iya… hari ini Hari Sumpah Pemuda,” bisiknya.

Ia duduk di kursi ruang tamu, ponsel masih tergenggam. Dalam diam, pikirannya terlempar jauh ke masa kecil — masa di mana tanggal 28 Oktober selalu ia tunggu-tunggu. Saat itu, ia begitu bersemangat mengikuti lomba membaca puisi, menggambar, dan berbaris bersama teman-temannya sambil membawa bendera merah putih kecil.

Namun kini, semangat itu seperti redup tertiup waktu.
“Kenapa aku bisa lupa tentang hari ini?” katanya lirih. “Padahal dulu aku begitu bangga menjadi bagian dari peringatan Sumpah Pemuda.”


Ia mematikan ponselnya, mencoba menjauh dari kebisingan dunia maya. Kakinya melangkah ke halaman rumah, menatap ke arah sekolah dasar yang tampak dari kejauhan. Dari sana terdengar tawa dan sorak anak-anak yang baru saja pulang.

Beberapa dari mereka berlari di jalan desa sambil melambai-lambaikan bendera kecil di tangan. Wajah mereka bersinar oleh kebahagiaan sederhana. Rani menatap mereka lama, dadanya terasa hangat.

Dulu, dirinya juga seperti mereka — polos, penuh semangat, dan bangga menjadi bagian dari bangsa yang besar. Tapi kini, rutinitas sekolah, tugas, dan dunia digital membuatnya lupa akan makna yang dulu begitu ia junjung tinggi.

Angin sore berembus lembut, membawa aroma tanah basah dan suara riuh anak-anak. Di bawah langit yang perlahan memerah, Rani merasakan sesuatu yang lama tertidur di dalam dirinya — semangat kecil yang dulu ia abaikan.


Saat matahari mulai tenggelam, Rani kembali ke ruang tamu. Ia menyalakan televisi, dan di layar muncul tayangan dokumenter tentang perjuangan para pemuda masa lalu. Suara narator menggema:

“Dulu, mereka berjuang dengan darah dan air mata. Kini, tugas kita melanjutkan perjuangan itu dengan ilmu dan perbuatan.”

Rani menatap layar tanpa berkedip. Di sana, terpampang wajah-wajah pemuda Indonesia yang gagah dan berani, berdiri di tengah kobaran semangat perjuangan.

“Dulunya perjuangan dengan senjata, sekarang dengan pikiran,” ucap Rani pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Dulu mereka melawan penjajah, sekarang kita melawan kemalasan dan ketidakpedulian.”

Kata-kata itu menggema di hatinya. Ia tersadar, bahwa menjadi pemuda bukan hanya soal usia, tapi tentang tekad. Tentang keberanian menjaga nilai-nilai bangsa di tengah derasnya perubahan zaman.


Televisi menayangkan lagu “Bangun Pemudi Pemuda”. Suaranya mengisi ruangan yang tadi terasa sunyi. Rani tersenyum tipis. Ia memejamkan mata, membiarkan setiap nada lagu itu menembus pikirannya.

Dalam keheningan itu, ia membayangkan dirinya berdiri di tengah lapangan sekolah dengan seragam putih abu-abu, menggenggam bendera kecil, menatap langit yang luas.
“Indonesia tanah airku…” bisiknya lirih, menyanyikan potongan lagu kebangsaan yang tiba-tiba terlintas di benaknya.

Air matanya jatuh tanpa sadar. Tapi itu bukan air mata sedih — melainkan rasa haru, rasa rindu akan semangat yang dulu ia miliki.


Beberapa menit kemudian, Rani mengambil buku catatannya. Di halaman kosong, ia menulis dengan huruf besar:

Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah, tapi pengingat bahwa perjuangan masih terus hidup — di dalam diri setiap anak muda yang mencintai bangsanya.

Ia menutup bukunya perlahan. Dalam hati, Rani berjanji untuk menghidupkan kembali semangat itu dalam kesehariannya. Tidak dengan berperang, tapi dengan belajar sungguh-sungguh, membantu orang tuanya, menghargai sesama, dan terus berbuat baik.

Baginya, itulah bentuk perjuangan masa kini — perjuangan tanpa senjata, tapi dengan ilmu dan keikhlasan.


Malam turun perlahan. Di luar rumah, suara jangkrik menggantikan tawa anak-anak yang tadi riang. Rani menatap langit dari jendela. Di antara bintang-bintang yang berkelip, ia merasa seolah mendengar bisikan masa lalu: suara para pemuda 1928 yang bersumpah dengan lantang, “Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia.”

Rani menunduk, tersenyum. “Aku mungkin hanya seorang siswi biasa,” katanya pelan, “tapi aku juga bagian dari sumpah itu.”

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen