DREAMING
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XII GA
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut di sela tirai jendela kamarku.
Suara ibuku memecah kesunyian.
“Dika, ayo bangun. Sarapan sudah siap.”
Dengan mata setengah terpejam, aku berguling malas di kasur. Jujur, rasanya tubuh ini menolak untuk bangun, tapi akhirnya aku menyeret diri ke meja makan. Aroma nasi goreng buatan Ibu menampar rasa kantuk yang masih menempel di ujung mata.
Hari itu istimewa. Setelah sekian lama, aku pulang ke rumah.
Ibu tak menyangka aku akan muncul begitu saja di ambang pintu. “Kamu pulang?” tanyanya dengan mata berbinar, antara terkejut dan bahagia. Aku hanya tersenyum singkat sambil menaruh tas di lantai.
Setelah sarapan, aku masuk ke kamarku—ruangan yang sudah lama tak kutempati. Debu halus menutupi meja belajar, foto-foto lama terbingkai rapi di dinding, dan di sudut meja, aku melihat sebuah catatan kecil. Tulisannya samar, seperti bekas tinta yang telah memudar oleh waktu. Di bawahnya tergeletak sebuah foto.
Entah kenapa, melihatnya membuat dadaku terasa hangat sekaligus kosong.
Aku yakin, aku pernah mengenal seseorang dalam foto itu—seseorang yang mengubah cara pandangku tentang mimpi.
Awal Pertemuan
Beberapa bulan sebelumnya, aku hanyalah seorang siswa kelas tiga SMA yang sedang mengisi masa liburan dengan bekerja paruh waktu di sebuah kafe tua di tengah kota.
Kafe itu sederhana, tapi selalu ramai. Kursi kayunya berderit tiap kali pelanggan datang, dan aroma kopi hitam selalu menenangkan.
Suatu hari, saat jam istirahat, aku bermain basket di lapangan belakang. Bola memantul ke sana-sini, lalu tiba-tiba terlempar jauh keluar garis. Aku berlari mengejarnya—dan di sanalah aku melihat seorang gadis berdiri sambil memegang bola itu.
Ia tampak asing, tapi senyumnya hangat seperti cahaya pagi.
“Hei, ini bolamu?” katanya lembut.
Aku mengangguk kikuk. “Iya, makasih.”
Dia menatapku sejenak, lalu berkata,
“Kau kerja di kafe itu, kan? Aku… kehilangan dompetku. Aku butuh pekerjaan sementara, bisa bantu aku bertemu dengan bosmu?”
Nada suaranya memohon. Entah kenapa, ada ketulusan yang sulit kutolak. Aku pun membantunya.
Dan tanpa diduga, bos kafe menerimanya dengan mudah. Katanya, gadis itu mengingatkannya pada masa mudanya—masa ketika ia sendiri pernah merantau untuk bertahan hidup.
Sejak hari itu, gadis itu mulai bekerja dan tinggal di mes kecil di belakang kafe.
Seseorang yang Berbeda
Hari-hari berikutnya, semuanya terasa lebih berwarna. Gadis itu—aku tak pernah tahu namanya sampai ia menyebutnya sendiri: Alya.
Ia ramah, cekatan, dan selalu tersenyum kepada siapa pun. Anehnya, sejak ia datang, kafe kami jadi makin ramai. Orang-orang seolah ingin datang hanya untuk melihatnya.
Namun, di balik semua itu, aku tetap sama: menjalani rutinitas tanpa arah, tanpa tujuan.
Aku tahu aku harus memikirkan masa depan, tapi pikiranku seperti daun kering yang terombang-ambing angin—tak tahu harus jatuh ke mana.
Suatu sore, saat kami duduk di bangku depan kafe, aku akhirnya bertanya,
“Alya, kenapa kamu datang ke kota kecil ini? Bukannya kota ini biasa aja, gak ada daya tariknya.”
Ia menatap langit senja yang berwarna keemasan, lalu tersenyum.
“Aku cuma ingin menjalani hidup sesuai dengan mimpiku—mengunjungi tempat-tempat baru, mengenal orang-orang baru, dan menemukan siapa diriku yang sebenarnya.”
Kata-katanya sederhana, tapi anehnya, menancap dalam di pikiranku.
Sejak saat itu, kalimatnya bergema terus di kepalaku: menemukan siapa diriku yang sebenarnya.
Perpisahan dan Makna Mimpi
Hari berganti cepat. Dua minggu berlalu seperti dua hari.
Suatu pagi, Alya datang dengan wajah tenang.
“Aku harus pulang,” katanya singkat.
Aku terdiam.
“Kenapa cepat sekali? Kamu bahkan belum dapat gaji pertama,” ujarku.
Ia hanya tersenyum. “Ada hal yang harus aku selesaikan di rumah. Tapi aku senang bisa bertemu kamu.”
Sore itu, aku mengajaknya ke taman di pinggir kota—tempat kami biasa berbagi cerita ringan.
Aku bertanya pelan,
“Alya, kamu bilang setiap orang harus punya mimpi. Tapi… bagaimana kalau aku belum tahu apa mimpiku?”
Ia menatapku lembut.
“Mimpi itu gak selalu besar, Dika. Kadang mimpi tumbuh dari hal kecil—dari apa yang kamu sukai, dari hal yang membuatmu penasaran, bahkan dari kesalahan yang kamu perbaiki.”
“Yang penting, kamu berani melangkah. Karena tanpa langkah pertama, mimpi cuma jadi bayangan.”
Kata-katanya seperti benih kecil yang ditanam dalam pikiranku hari itu.
Waktu yang Terus Berjalan
Sebulan kemudian, liburanku berakhir. Aku kembali ke sekolah, lalu melanjutkan kuliah di universitas impianku—jurusan Teknologi Informasi dan Pengembangan Perangkat Lunak.
Hari-hariku sibuk, tapi setiap kali aku duduk di depan layar komputer, aku selalu teringat ucapan Alya.
Mungkin inilah arti dari mimpiku:
Menciptakan sesuatu yang bermanfaat, sekecil apa pun itu.
Dan setiap kali aku lelah, aku membuka catatan kecil yang dulu kutemukan di kamarku. Tulisan samar di sana berbunyi:
“Jangan takut berjalan lambat, takutlah jika kau berhenti bermimpi.”
Aku tersenyum. Entah siapa yang menulisnya dulu—aku atau Alya. Tapi yang pasti, sejak pertemuan itu, aku tahu bahwa hidup bukan hanya tentang mencari uang atau tujuan, tapi tentang menemukan makna di setiap langkah.
Penutup
Kini, setiap kali aku menatap langit sore, aku selalu teringat kata-kata Alya di taman itu.
“Kita tidak tahu akan jadi apa di masa depan, tapi setiap langkah yang kita ambil akan menuntun kita ke arah mimpi itu.”
Dan mungkin, kalau suatu hari aku bertemu lagi dengannya, aku akan berterima kasih—karena dari dirinya aku belajar bahwa mimpi bukan untuk ditunggu, tapi dijalani.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen