Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

MENGHAYATI PERJUANGAN JASA PARA PAHLAWAN

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XII YM

Namaku Andika Brawijaya. Aku tinggal di Semarang dan duduk di kelas dua sekolah menengah atas.
Setiap hari, aku datang dan pulang sekolah sendirian. Aku tidak punya teman, tapi jujur saja—aku tidak peduli.
Bagiku, dunia cukup di layar ponsel. Musik K-Pop, konser virtual, dan idol yang bersinar seperti bintang adalah duniaku. Aku merasa tak butuh siapa pun, karena bagiku, kesendirian adalah zona nyaman.

Namun, hari itu, takdir seolah menepuk pundakku keras—mengingatkanku tentang sesuatu yang selama ini kulupakan: arti perjuangan, persahabatan, dan kebersamaan.


Awal dari Keacuhan

Pagi itu aku berangkat sekolah seperti biasa. Setibanya di kelas, aku duduk di pojok, earphone menempel di telinga, menonton fancam idol favoritku. Dunia di sekitarku terasa seperti gema jauh yang tak penting.

Tiba-tiba, suara lembut seseorang menembus dinding keacuhanku.

“Dika, hari ini kita mau milih panitia acara peringatan 28 Oktober nanti. Kamu mau ikut?”
Suara itu milik Maya, teman sekelasku yang selalu ceria.

Aku menoleh sebentar, sekadar formalitas, lalu kembali menatap layar ponsel.

“Dika, kalau orang tanya, ya dijawab dong,” ucap Maya dengan nada kesal.
Aku kehilangan kesabaran.
“Apaan sih, Maya? Ganggu banget! Gak liat aku sibuk, ya?”

Maya terdiam, menarik napas panjang, lalu pergi meninggalkanku.

Baru beberapa detik kemudian, sebuah tepukan keras mendarat di bahuku.

“Bencong amat lu, Dik. Disuruh ikut acara gak mau. Nih ya, lu bisa nonton idol dari HP itu juga karena para pahlawan kita dulu mati-matian berjuang buat negara ini!”
Itu suara Johan, teman sekelasku yang terkenal keras kepala.

Aku hanya memelototinya dengan marah, lalu pergi meninggalkan kelas. Di belakangku, kudengar tawa dan ejekan yang menusuk seperti duri. Mereka bilang aku aneh, banci, pecinta budaya asing—dan semua kata yang membuat dadaku panas.


Amarah dan Luka

Sore harinya, saat matahari mulai tenggelam, aku melangkah pulang dengan kepala tertunduk. Tapi nasib seolah belum puas mempermainkanku. Di tikungan jalan menuju rumah, tiga bayangan berdiri menungguku—Johan, Anton, dan Roy.

“Nih dia si Dika banci!”
Mereka menyeretku ke gang kecil. Pukulan pertama datang seperti petir. Disusul tendangan dan makian. Aku jatuh, mencoba menutupi kepala dengan tangan, tapi rasa sakit datang bertubi-tubi.
“Pukul aja! Biar dia sadar dunia gak butuh orang lembek kayak dia!”

Sampai akhirnya, semuanya gelap.


Lintas Waktu

Saat membuka mata, aku terkejut. Ruangan ini… bukan kamarku. Dinding kayu, jendela tua, dan cahaya lentera kuning remang. Tak ada suara kendaraan, tak ada sinyal ponsel, tak ada album K-Pop.

Aku berlari keluar rumah. Langit kelabu, jalanan tanah, orang-orang berlari dengan kain ikat kepala merah putih. Aku tertegun.

“Hei kamu! Ayo cepat sembunyi! Tentara Belanda sedang datang!” teriak seorang pemuda.

Aku panik. “Belanda?” ucapku gemetar. Tapi tubuhku seperti ditarik, mengikuti langkah mereka ke sebuah rumah besar. Di dalamnya, banyak orang luka-luka. Darah, peluh, dan bau obat menyatu dengan udara tegang.

“Mereka terluka karena memperjuangkan hak kita!” ujar salah satu pemuda yang wajahnya berlumur tanah dan keringat.
“Mereka kehilangan segalanya, tapi tidak kehilangan semangat untuk satu hal: Indonesia.

Aku tercekat. Dadaku sesak. Aku melihat seorang ibu menangis memeluk anaknya yang gugur, sementara di luar terdengar teriakan “Merdeka!” yang menggema ke seluruh penjuru malam.

Raga mereka mungkin lemah, tapi jiwa mereka menyala seperti api yang tak bisa padam.

Untuk pertama kalinya, aku menyadari betapa kecilnya diriku—betapa sia-sianya aku yang sibuk dengan dunia maya, sementara para pendahulu rela kehilangan nyawa demi tanah air yang kupijak.


Kesadaran

Tiba-tiba dunia di sekelilingku berguncang. Cahaya putih menyilaukan menelan pandanganku. Saat kubuka mata lagi, aku sudah terbaring di kamarku. Nafasku memburu, keringat dingin menetes di pelipis.

Aku memandang ponsel di atas meja. Poster idol di dinding seolah menatapku hampa. Aku menutup layar itu pelan, lalu memejamkan mata.

“Terima kasih… telah membangunkanku,” bisikku lirih.

Tanpa pikir panjang, aku menekan nomor Maya.

“Halo, Maya. Maaf soal kemarin. Aku mau ikut jadi panitia acara Sumpah Pemuda. Aku juga bisa bantu bawa alat dekor.”
Maya sempat terdiam sebelum menjawab dengan nada hangat,
“Syukurlah, Dika. Semoga ini langkah baru buat kamu, ya.”


Kebangkitan

Tanggal 28 Oktober 2025, aula sekolah dihiasi merah putih dan tulisan besar bertuliskan “Semangat Sumpah Pemuda: Bersatu dalam Perbedaan.”

Dika—aku—berdiri di antara teman-teman sekelas. Kali ini aku bukan lagi penonton. Aku ikut menata panggung, membantu, tertawa, bahkan bekerja bersama Johan yang akhirnya datang menghampiri.

“Maaf, Dik. Gue salah waktu itu.”
“Udah, gak apa-apa. Kita semua belajar, kan?”

Acara berlangsung khidmat. Saat bendera merah putih dikibarkan, aku menatapnya dengan dada bergetar. Dalam benakku, kulihat bayangan para pahlawan yang dulu kutemui dalam mimpi—atau mungkin, dalam perjalanan lintas waktu.

Kini aku tahu, perjuangan mereka tak berakhir di medan perang. Perjuangan itu hidup di hati setiap pemuda yang mau menghargai, bersatu, dan berbuat baik untuk bangsanya.


Pesan moral:
Perjuangan pahlawan bukan hanya tentang darah dan peluru, tapi tentang kesadaran dan cinta tanah air yang abadi.
Sebagai pemuda Indonesia, tugas kita bukan sekadar mengenang, tapi menghayati, melanjutkan, dan menyalakan kembali api perjuangan dalam diri kita.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen