Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Baju Yang Tergantung

Baju yang Tergantung

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XI BD

Setiap pagi, sebelum matahari sempat menampakkan wajahnya di balik perbukitan, aku selalu melihat ibu berdiri di depan jemuran tua di halaman belakang rumah. Di sana, tergantung satu potong baju cokelat lusuh yang warnanya mulai pudar dimakan waktu. Dengan lembut, ibu mengelap debu di kerahnya, lalu menyikat bagian ujung lengan baju yang mulai rapuh. Setelah itu, ia membawanya masuk ke dalam sebuah kamar yang tak pernah dipakai lagi.

Aku sudah lama memperhatikan kebiasaan itu. Kamar itu selalu bersih, barang-barangnya tersusun rapi, seolah seseorang masih menempatinya. Tirainya putih, tercium samar aroma kayu dan sabun cuci. Namun, yang membuatku heran — tak ada siapa pun yang pernah tidur di sana sejak aku kecil.

Suatu pagi aku memberanikan diri bertanya, “Bu, kenapa baju itu selalu dibersihkan? Bukankah tidak ada yang memakainya lagi?”

Ibu berhenti sejenak, memandang baju itu dengan tatapan yang sulit aku artikan. Ia tersenyum pelan, lalu berkata dengan suara selembut embun,

“Raganya memang sudah tiada, Nak… tapi benda ini adalah wujud nyata bahwa ia masih ada di sini, bersama kita.”

Aku menatap baju itu lebih lama. Ada aroma yang samar, seperti bau tanah setelah hujan — menenangkan tapi juga menyesakkan. Ingatanku melayang jauh ke masa kecil, pada sosok yang samar: pria tegap dengan rahang tegas, senyum hangat, dan suara dalam yang menenangkan. Ia sering mengangkatku tinggi-tinggi ke udara sambil tertawa.
“Lihat, anakku! Indonesia itu luas, dan kau harus jadi orang yang berani menjaganya,” katanya dulu.

Itulah ayahku.

Namun kenangan itu memudar seiring waktu, digantikan tanda tanya yang tak pernah terjawab: Kemana ayah pergi? Kenapa aku tak punya sosok ayah seperti teman-temanku?

Setiap kali aku bertanya, ibu hanya tersenyum tanpa kata. Hingga suatu hari, saat membersihkan rak buku di kamar itu, aku menemukan album foto tua dan sebuah surat berwarna kekuningan terselip di antara tumpukan buku.

Surat itu berisi tulisan tangan yang tegas namun mulai pudar:

“Untuk istriku dan anakku tercinta. Jika aku tak pulang, jangan tangisi kepergianku. Aku pergi bukan untuk meninggalkan, tapi untuk menjaga kalian — dan negeri ini.”

Tanganku bergetar. Di bawah tulisan itu tertulis nama ayah.

Di samping surat, ada foto hitam putih: ayah mengenakan baju cokelat yang kini tergantung di kamar itu, berdiri bersama beberapa pria berpakaian sama, dengan senjata bambu di tangan. Mereka semua tampak muda, gagah, tapi di mata mereka ada cahaya yang sama — cahaya keberanian.

Aku mendengar suara langkah lembut dari belakang. Ibu berdiri di ambang pintu, menatapku dengan senyum yang dipaksakan.
“Kau sudah menemukannya, ya?” katanya pelan.
Aku hanya mengangguk, dadaku sesak. “Bu, ayah… gugur, ya?”

Ibu duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh baju yang terlipat di pangkuannya. “Ya, Nak. Ia gugur bersama pasukannya saat melawan penjajah. Mereka dikenal sebagai pasukan yang berani menentang Belanda, meski tahu nyawa mereka taruhannya. Ayahmu… salah satunya.”

Suaranya bergetar. “Yang tersisa dari tubuhnya hanyalah baju ini. Raganya tak pernah ditemukan.”

Aku tak sanggup berkata-kata. Udara di kamar itu mendadak terasa berat, seperti menahan ribuan kenangan yang tak pernah diucapkan.

“Aku tidak pernah mau menceritakan ini padamu dulu,” lanjut ibu, “karena aku belum siap. Luka itu terlalu dalam. Tapi sekarang… sudah waktunya kau tahu.”

Aku menatap wajah ibu. Meski bibirnya tersenyum, matanya memantulkan kesedihan yang dalam. “Mengikhlaskan memang berat,” katanya lirih. “Tapi sebagai manusia, kita harus belajar menerima bahwa yang pergi takkan kembali. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaga apa yang mereka perjuangkan.”

Aku menggenggam tangannya erat. Di luar, matahari mulai muncul, menembus jendela kamar, mengenai baju ayah yang tergantung di dinding. Sinar itu membuat kain lusuh itu tampak bersinar seolah hidup kembali.

“Bu,” kataku pelan, “ayah pasti bahagia di sana. Sekarang negeri ini sudah merdeka. Semua yang beliau perjuangkan… tidak sia-sia.”

Ibu mengangguk pelan, air matanya menetes. “Ya, Nak. Ayahmu berjuang agar anak-anak Indonesia bisa tumbuh bebas tanpa rasa takut. Ia ingin negeri ini bersatu, meski kita berbeda suku, bahasa, dan agama.”

Aku menatap baju ayah dengan hati bergetar. Di sana, seolah tergantung juga semua doa, cinta, dan semangat yang ia tinggalkan. Dari ayah aku belajar arti keberanian dan pengorbanan, dan dari ibu aku belajar keikhlasan dan kekuatan hati.

Sejak hari itu, setiap kali aku melihat ibu membersihkan baju itu, aku tak lagi merasa sedih. Aku tahu, baju itu bukan sekadar kain tua — melainkan simbol cinta dan perjuangan yang abadi.

Kini, setiap tanggal 28 Oktober, aku selalu berdiri di depan kamar itu, memandang baju ayah yang tergantung dengan bangga. Aku berbisik,

“Ayah, terima kasih. Karena keberanianmu, kami hidup dalam kemerdekaan. Karena pengorbananmu, kami belajar arti persatuan.”

Dan setiap kali angin berhembus melewati jendela, baju itu bergoyang perlahan, seolah menjawab bisikanku.
Dalam gerakan lembut itu, aku bisa merasakan kehadiran ayah — bukan sebagai bayangan masa lalu, tetapi sebagai jiwa yang terus hidup dalam semangat anak muda Indonesia.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen