(Cerpen bertema Sumpah Pemuda)
Karya: Peserta Didik Kelas X LF
Suara notifikasi dari grup kelas memecah kesunyian sore itu.
“Perhatian semuanya! Besok kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Setiap siswa wajib memakai baju adat, profesi, atau pahlawan, ya!”
Aku menatap layar ponsel cukup lama. Dadaku berdegup pelan—antara panik dan bingung. Aku belum menyiapkan apa pun.
“Ibu…” panggilku dari ruang tamu. “Kenapa sih kami harus pakai baju adat segala? Sumpah Pemuda itu tentang apa, sebenarnya?”
Ibu menghentikan lipatan bajunya. Senyumnya lembut, tapi matanya penuh makna.
“Nak, Sumpah Pemuda adalah hari ketika para pemuda dari berbagai suku dan daerah berikrar menjadi satu: tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, bahasa Indonesia. Mereka berbeda, tapi bersatu memperjuangkan kemerdekaan.”
Aku terdiam. Kata-kata Ibu seperti air yang menembus kulit dan menetes ke dada.
“Jadi kita harus bangga ya, Bu, jadi bagian dari bangsa ini?”
“Benar sekali. Ibu sudah siapkan baju untukmu.”
Keesokan paginya, udara terasa lebih segar dari biasanya. Cahaya mentari menelusup di antara daun jendela. Aku mengenakan baju tentara peninggalan Ayah—hijau kusam tapi gagah, seperti kisah perjuangan yang tak lekang oleh waktu.
Begitu tiba di sekolah, suasana berubah jadi lautan warna. Ada yang memakai kebaya, ada yang berbalut batik, ada pula yang berseragam dokter dan polisi kecil. Tawa dan canda menyatu seperti melodi kebersamaan.
Namun, di balik keriuhan itu, aku melihat sesuatu yang berbeda. Di bawah pohon angsana di sudut lapangan, seorang teman duduk sendiri—Rara. Wajahnya kusut, jemarinya sibuk menarik-narik kebaya yang dikenakannya.
Aku menghampirinya.
“Ra, kamu ngapain di sini? Ayo, gabung sama yang lain!”
Ia mendongak. Raut kesalnya tak bisa disembunyikan.
“Ah, panas banget! Bajunya gatal. Lagian, buat apa sih pakai beginian? Cuma ribet!”
Aku menatapnya lama. Ada sesuatu yang menggelitik hati—antara kesal dan iba.
“Rara,” kataku perlahan, “kamu tahu nggak kenapa kita pakai baju adat hari ini?”
Ia mengangkat alis.
“Biar apa?”
Aku menarik napas.
“Biar kita ingat, dulu para pemuda juga berasal dari tempat yang berbeda-beda—ada yang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Papua. Mereka nggak pakai baju yang sama, tapi mereka punya hati yang satu. Mereka berjuang bukan buat diri sendiri, tapi buat Indonesia. Kalau mereka bisa bersatu, masa kita nggak bisa tahan panas sedikit?”
Rara terdiam. Angin berhembus pelan, mengibaskan pita merah di rambutnya. Aku bisa melihat matanya mulai berubah—ada sesuatu yang tersadar di sana.
“Aku… nggak pernah mikir sejauh itu,” bisiknya. “Aku kira cuma acara seremonial biasa.”
“Justru di hal kecil seperti ini, kita belajar menghargai perbedaan,” kataku. “Tanpa mereka, mungkin kita nggak bisa duduk tenang di kelas, bebas bermimpi seperti sekarang.”
Tiba-tiba, lonceng tanda upacara berbunyi. Kami berdiri berdampingan di lapangan. Guru-guru berjajar di sisi kiri, dan kibaran bendera merah putih tampak gagah di bawah langit biru muda.
Ketika lagu Indonesia Raya berkumandang, suara kami bersatu, mengisi udara pagi. Aku melirik Rara—ia bernyanyi dengan mata berbinar. Dalam hatiku, ada hangat yang sulit dijelaskan. Seolah di dadaku tumbuh sesuatu: rasa memiliki.
Setelah upacara, kami berkumpul di aula. Masing-masing kelas menampilkan pentas budaya. Ada tarian daerah, musik tradisional, dan drama perjuangan. Kelasku membawakan drama tentang Sumpah Pemuda. Aku berperan sebagai Amir Syarifuddin, seorang pemuda Sumatera yang berdebat dengan pemuda Jawa dan Sulawesi sebelum akhirnya bersatu dalam satu ikrar.
Dialognya sederhana, tapi ketika aku mengucapkan kalimat itu di atas panggung, rasanya seperti kilatan petir dalam hati:
“Kita mungkin berbeda bahasa, adat, dan rupa—tapi darah kita satu: darah Indonesia!”
Tepuk tangan bergemuruh. Rara yang menjadi narator tampak tersenyum bangga. Seusai pementasan, ia mendekat sambil menepuk bahuku.
“Tadi kamu keren banget. Sekarang aku ngerti kenapa kamu semangat banget dari pagi.”
“Bukan cuma aku, Ra. Kita semua pemuda Indonesia. Kalau bukan kita yang bangga, siapa lagi?”
Sore itu, matahari condong ke barat, menciptakan semburat oranye yang melukis langit seperti kanvas harapan. Angin membawa suara anak-anak tertawa, dan di antara riuh itu, aku merasa Indonesia hidup di dalam dada kami—dalam semangat kecil yang tumbuh dari kesadaran sederhana.
Di perjalanan pulang, aku berjalan di samping Rara. Kami melewati taman sekolah yang baru ditanami bunga merah putih.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “aku jadi kepikiran. Mungkin caraku mencintai Indonesia nggak harus besar, tapi bisa dimulai dari hal kecil. Kayak menjaga kebersihan sekolah, belajar sungguh-sungguh, atau bantu teman.”
“Itu benar,” jawabku. “Cinta tanah air itu nggak selalu di medan perang. Kadang cukup dengan tanggung jawab kecil yang kita jalani setiap hari.”
Langit senja menutup hari dengan lembut. Aku tersenyum—hari ini aku belajar bahwa menjadi pemuda Indonesia bukan hanya soal mengenakan baju adat, tapi soal menumbuhkan semangat yang sama: bersatu dalam perbedaan, bekerja bersama demi masa depan bangsa.
Dan di dadaku, gema ikrar itu kembali bergema, seolah waktu berputar ke tahun 1928:
“Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, tanah air Indonesia, dan bangsa Indonesia.”
Aku melangkah pulang dengan hati penuh kebanggaan—karena hari ini aku benar-benar bangga menjadi pemuda Indonesia.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar:
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen