Gugur Bunga
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XI SK
Batavia, 1998.
Malam turun perlahan, membawa gerimis yang menitik lembut di atas tanah Batavia. Udara lembap menyelusup ke sela-sela rumah-rumah tua, namun di sebuah rumah sederhana di ujung jalan, suasana terasa hangat. Lampu gantung kuning temaram memantulkan cahaya lembut di ruang makan tempat sebuah keluarga kecil berkumpul.
Di meja kayu itu duduk Raib Dewantara, seorang perwira muda yang dikenal berwibawa, bersama istrinya Laras Dewati, dan ibunya, Tari Irwanti. Aroma sayur sop buatan Laras menguar lembut di antara tawa mereka.
“Tidak terasa ya, sebentar lagi kita akan mendapat anggota keluarga baru,” ucap Mbok Tari, menatap perut Laras yang mulai membuncit dengan mata berbinar.
“Iya, Mbok,” jawab Laras sambil tersenyum. “Saya dan Mas Raib sudah tidak sabar menunggu kehadiran buah hati kami.”
Raib menggenggam tangan istrinya, menatap wajahnya yang lelah tapi bahagia. “Anak kita akan lahir di negeri yang merdeka, Ras. Semoga ia tumbuh menjadi anak yang kuat dan mencintai tanah airnya.”
Mbok Tari menatap keduanya penuh haru. “Kalau Bapakmu masih ada, pasti dia sangat bahagia menyambut cucu pertamanya.”
Kebahagiaan malam itu terasa utuh — tawa, doa, dan harapan terjalin dalam suasana hangat keluarga. Tapi di tengah kehangatan itu, tiba-tiba suara telepon berdering nyaring.
“Kring… kring…”
Laras menoleh. “Eh, Mas, ada telepon.”
Raib berdiri dan mengangkat gagang telepon. “Halo? Dengan siapa ini?”
Suara berat di seberang menjawab, “Selamat malam, Raib. Saya Letnan Arya. Jenderal memintamu segera ke markas malam ini juga.”
Nada suara itu membuat Raib terdiam sejenak, lalu menjawab tegas, “Siap, Letnan. Segera saya laksanakan.”
Ia menutup telepon dan berjalan kembali ke ruang makan. Raut wajahnya berubah serius.
“Ada apa, Mas?” tanya Laras khawatir.
“Maaf, Ras, Bu,” ujarnya lembut, “aku harus berangkat ke markas. Ini perintah Jenderal.”
Mbok Tari menatap menantunya penuh doa. “Pergilah, Nak. Semoga Tuhan melindungimu.”
Laras membantu suaminya bersiap. Saat mengenakan seragamnya, Raib menatap istrinya lama, seolah ingin menghafal setiap garis wajahnya. “Jaga Ibu baik-baik, ya. Dan jaga dirimu juga.”
Laras tersenyum, meski air matanya mulai menggenang. “Hati-hati, Mas. Pulanglah secepatnya.”
Beberapa jam kemudian, Markas TNI Batavia.
“Selamat malam, Jenderal. Ada perintah untuk saya?”
Jenderal menatapnya serius. “Raib, Bandung sedang tidak aman. Ada kerusuhan di sana. Pasukanmu harus berangkat malam ini juga.”
“Siap, laksanakan, Jenderal!” jawab Raib tegap.
Malam itu juga, truk-truk pasukan bergerak menuju Bandung. Di dalam kendaraan, Raib menatap langit yang gelap. Ia mengeluarkan foto kecil Laras dan ibunya. “Tunggulah aku pulang,” bisiknya.
Sebelum sampai, ia sempat menelpon. “Laras, ini Mas. Mas harus berangkat ke Bandung. Tolong sampaikan ke Ibu ya, mungkin Mas agak lama di sana.”
Suara Laras di ujung telepon terdengar lirih tapi tegar. “Baik, Mas. Laras doakan semoga Mas cepat pulang.”
Telepon ditutup, tapi doa itu tertinggal di udara, menyelimuti perjalanan panjang menuju kota yang bergejolak.
Bandung, 1998.
Langit berwarna kelabu, hujan turun tipis. Pasukan Raib baru saja tiba di pos. Saat ia membereskan perlengkapan, suara ledakan keras mengguncang udara.
“Boommm!”
Tanah bergetar. Asap hitam mengepul tinggi di kejauhan. Tanpa pikir panjang, Raib dan rekan-rekannya berlari menuju sumber ledakan. Bangunan di selatan kota telah hancur lebur. Asap dan debu bercampur darah dan teriakan.
“Lindungi warga! Ayo cepat!” teriak Raib sambil merunduk di balik reruntuhan. Namun sebelum mereka sempat mengatur posisi, serangan mendadak datang dari kelompok bersenjata.
Rentetan peluru menembus udara. Raib menembak balik, matanya penuh fokus. Tubuhnya berlindung di balik tembok yang separuh roboh. Namun jumlah musuh terlalu banyak.
Sementara itu di Batavia, Laras tiba-tiba merasakan nyeri luar biasa di perutnya.
“Mbok… sakit sekali…”
Mbok Tari panik. “Ndok, sepertinya kamu mau lahiran! Ayo kita ke klinik sekarang!”
Malam itu juga mereka bergegas ke klinik kecil. Di tengah lampu hangat dan bau obat-obatan, Laras berjuang keras melahirkan. Keringat dingin membasahi dahinya, tapi senyum kecil tetap terlukis di bibirnya.
“Mbok, tolong hubungi Mas Raib…” katanya dengan napas tersengal. Tapi telepon di rumah tak kunjung diangkat.
Di saat yang sama, di Bandung, Raib masih bertempur. Peluru berdesing di sekitarnya. Saat ia berbalik untuk membantu rekannya, sebuah senjata diarahkan ke punggungnya.
Satu tembakan meledak. Dor!
Peluru menembus tubuhnya. Raib terjatuh di tanah yang basah oleh hujan dan darah.
Batavia, dini hari.
Tangisan bayi menggema di ruang klinik. Laras tersenyum lemah saat melihat anaknya. Air mata jatuh di pipinya. “Akhirnya… kamu lahir juga, Nak.”
Telepon di meja berbunyi. “Halo, apakah ini keluarga Raib?”
Mbok Tari mengangkat. “Benar, ini ibunya.”
“Raib ingin bicara dengan istrinya,” suara di seberang terdengar lemah.
Laras meraih gagang telepon dengan tangan gemetar. “Halo, Mas! Anak kita sudah lahir. Kamu dengar tangisnya?”
Suara Raib terdengar pelan, serak, tapi hangat. “Syukurlah… anak kita lahir dengan selamat. Tolong besarkan dia dengan kasih sayang. Maaf, Mas tidak bisa di sampingmu sekarang… Semoga kalian selalu bahagia.”
“Halo? Mas? Mas jangan diam, jawab Mas!”
Hening. Lalu suara asing menjawab lirih, “Maaf, Bu… Kapten Raib baru saja mengembuskan napas terakhirnya.”
Telepon terjatuh dari tangan Laras. Tangisnya pecah. Di luar, gerimis turun perlahan, seolah langit ikut berduka.
Malam itu, bunga-bunga kamboja di halaman rumah berguguran. Tanah basah menyerap air hujan seperti menyerap duka.
Raib Dewantara gugur sebagai pahlawan — bukan hanya bagi negara, tapi bagi keluarga kecil yang ditinggalkannya.
Dan setiap kali Laras menatap wajah anaknya, ia tahu: darah keberanian itu mengalir di dalam dirinya.
Dari sosok Raib, kita belajar bahwa cinta tanah air tidak hanya diucapkan dalam kata-kata, tapi dibuktikan dengan pengorbanan — bahkan ketika nyawa menjadi taruhannya.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen