Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Keberagaman dalam Kesatuan

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik Kelas X JF

Pagi itu, matahari menembus jendela kaca kelas 10 John Fisher, menaburkan cahaya hangat di antara deretan meja yang masih berbau cat baru. Reno duduk di bangkunya, menatap papan tulis kosong sambil menahan degup jantungnya. Hari pertama di SMA Panca Setya Sintang. Sekolah baru, teman baru, dunia baru — dan entah kenapa, hatinya penuh campuran antara semangat dan gugup.

Bel istirahat berbunyi. Suara riuh teman-teman yang mulai akrab terdengar di segala arah. Reno menghampiri kelompok kecil berisi tiga siswa — Putra, Rani, dan Okta — yang tampaknya sedang membicarakan murid baru yang belum mereka kenal.

“Eh, kalian tahu nggak, katanya hari ini ada siswa pindahan dari luar pulau,” kata Rani dengan nada penasaran.
“Dari Papua, ya?” sambung Putra.
Okta menimpali dengan tawa kecil. “Wah, pasti orangnya aneh. Gaya bicaranya beda, bajunya juga mungkin kampungan.”

Reno spontan menatap Okta. “Kamu nggak boleh ngomong gitu. Kita belum kenal dia.”
Okta mendengus pelan, menatap ke arah lain. Rani hanya diam, separuh setuju separuh ragu.

Tak lama, pintu kelas terbuka. Seorang siswa berkulit gelap dan berambut keriting melangkah masuk. Senyumnya kecil, matanya berusaha ramah meski canggung. “Halo, nama saya Miki. Saya dari Papua.”
Beberapa siswa menyambutnya dengan tepuk tangan sopan, tapi sebagian lain berbisik pelan, menatapnya seolah ia datang dari dunia lain.

Saat istirahat siang, Miki duduk sendiri di pojok kelas, membuka bekal sederhana yang dibungkus kain batik lusuh. Nasi, telur rebus, dan sambal — makanan yang mungkin baginya terasa seperti rumah. Namun, dua suara tiba-tiba memecah ketenangan itu.

“Eh, masih ada ya yang bawa bekal kayak anak TK?” kata Okta sambil tertawa.
“Iya, mungkin di sana belum ada kantin,” sahut Rani dengan nada mengejek.

Tangan Miki terhenti. Ia menunduk, menelan ludah yang terasa pahit. Tapi sebelum air matanya sempat jatuh, suara tegas datang dari arah pintu.
“Cukup!”
Reno berdiri di sana, wajahnya memerah menahan marah. “Kalian nggak malu ngomong kayak gitu? Dia temen kita! Kalau kamu cuma bisa menertawakan perbedaan, berarti kamu belum pantas disebut pelajar Indonesia.”

Kelas mendadak hening. Okta dan Rani saling pandang, lalu pergi tanpa sepatah kata. Reno duduk di samping Miki. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut.
Miki menggeleng. “Sudah biasa. Di tempatku dulu juga ada yang begitu.”
Reno menatapnya dalam. “Kalau kamu terus diam, mereka nggak akan pernah tahu siapa kamu sebenarnya. Mulai besok, duduk sama aku, ya.”

Sejak hari itu, keduanya menjadi teman dekat. Miki bercerita banyak tentang kampungnya di pinggir pantai yang indah, tentang festival suku yang meriah, dan tentang ayahnya yang mengajarkan untuk selalu bangga pada kulit dan asal sendiri. “Katanya, pelangi nggak akan indah kalau cuma satu warna,” ujar Miki sambil tersenyum. Reno mengangguk. Kalimat itu menempel di pikirannya seperti mantra.

Hari berganti minggu. Di sekolah, lomba seni budaya digelar dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda. Setiap kelas harus menampilkan pentas bertema “Persatuan dalam Keberagaman.” Ketika guru bertanya siapa yang mau jadi penanggung jawab, Reno langsung mengangkat tangan. “Saya, Bu,” katanya mantap. Lalu ia menoleh ke Miki. “Kamu mau ikut, kan?”
Miki ragu sejenak, tapi Reno menatapnya dengan keyakinan yang menular. “Ayo, tunjukin ke mereka bahwa budaya dari Papua juga luar biasa.”

Latihan dimulai. Awalnya, teman-teman lain masih canggung melihat Miki memimpin tarian tradisional khas sukunya. Namun semakin lama, langkah kaki dan hentakan tangan mereka mulai seirama. Di setiap gerakan, ada cerita tentang tanah, laut, dan langit yang menyatu dalam satu irama kebangsaan.

Hari pertunjukan tiba. Aula sekolah penuh sesak. Ketika musik tradisional menggema, Miki menari di tengah panggung, diikuti Reno dan teman-teman satu kelas. Wajah-wajah penonton terpaku; bahkan Rani dan Okta yang dulu mengejek, kini menatap dengan mata berkilau.
Saat pertunjukan berakhir, tepuk tangan mengguncang ruangan. Guru mereka berdiri memberi hormat, matanya basah.

Setelah acara usai, Rani menghampiri Miki. “Aku minta maaf ya, Mik. Aku salah menilai.”
Miki tersenyum. “Kita semua belajar, kan? Yang penting sekarang kita sama-sama cinta Indonesia.”

Reno menepuk bahunya. “Lihat, Mik. Sekarang mereka tahu, keberagaman bukan alasan untuk saling menjauh, tapi alasan untuk saling mendekat.”

Sore itu, cahaya matahari masuk lewat jendela aula, memantul di kain noken yang masih melingkar di bahu Miki. Di dalam sinar itu, mereka berdiri berdampingan — siswa dari berbagai daerah, tapi dengan hati yang satu.

Dan di antara suara angin yang melewati pepohonan halaman sekolah, Reno berbisik pelan, seolah berbicara pada langit:

“Kami memang berbeda, tapi kami semua anak Indonesia.
Kami bersatu bukan karena sama, tapi karena saling percaya.”

Langit sore tampak lebih biru dari biasanya, dan di dada mereka tumbuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan — rasa bangga menjadi bagian dari pelangi bernama Indonesia.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen