Kobaran Api Para Pemuda
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XII CB
Di sebuah desa kecil bernama Desa Sawah, matahari pagi menyapa lembut pepohonan yang berbaris di sepanjang pematang. Udara segar membelai wajah para pemuda yang tengah berkumpul di Balai Bambu, tempat di mana semangat perjuangan selalu tumbuh dari obrolan sederhana menjadi bara yang siap menyala.
Mereka adalah anak-anak muda desa — sebagian masih remaja, sebagian baru mengenal arti kehilangan. Namun di bawah kepemimpinan Joko, seorang pemuda berjiwa tegas dengan sorot mata menyala seperti bara, mereka memiliki satu tekad: membebaskan tanah air dari penjajahan.
Pagi itu, langit biru seolah ikut mendengarkan pidato Joko yang menggema lantang.
“Kita, para pemuda, harus memiliki tekad yang kuat!” serunya sambil mengepalkan tangan. “Sudah terlalu banyak air mata yang jatuh di tanah ini. Sudah terlalu banyak darah yang tumpah demi kebebasan!”
Suara sorak membalas dengan lantang, menggema di seluruh penjuru desa:
“Hidup pemuda! Hidup pemuda! Hidup pemuda!”
“Bebaskan bangsa dan tanah air kita!” lanjut Joko, dan suara itu menjelma menjadi kobaran semangat yang menular pada setiap jiwa muda yang hadir.
Malam pun tiba. Bulan menggantung redup di langit, seakan malu melihat bumi yang sedang terluka. Di bawah cahaya temaram, para pemuda duduk melingkar di dalam Balai Bambu, memetakan strategi. Peta lusuh terbentang di lantai, diterangi oleh lampu minyak yang bergetar kecil karena hembusan angin.
Tiba-tiba, suara langkah tergesa disertai tangis memecah keheningan. Seorang wanita muda datang sambil memeluk dirinya sendiri, air mata jatuh tak henti.
“Tolong… suamiku disiksa oleh tentara asing,” katanya terbata. “Mereka menuduhnya pemberontak, padahal dia hanya melindungi sawah kita.”
Hening seketika. Mata Joko menatap tajam ke arah pintu, seolah menatap jauh ke dalam nuraninya sendiri.
“Ini bukan tentang harta,” ujarnya dengan suara bergetar tapi tegas. “Ini tentang harga diri bangsa. Jika kita diam, maka kita bukan lagi pemuda, tapi bayangan tanpa jiwa.”
Semua yang hadir menatapnya dengan mata yang sama — mata yang tak lagi mengenal takut.
Keesokan malamnya, langit berubah menjadi kanvas kelam. Hanya bintang-bintang kecil yang menyala, seakan menjadi saksi atas rencana besar yang akan digerakkan. Dengan bambu runcing di tangan dan bendera merah putih kecil menempel di dada, para pemuda berbaris diam-diam menuju markas tentara penjajah.
“Demi rakyat, demi tanah air,” bisik Joko.
“Demi Indonesia,” jawab para pemuda serempak.
Dalam sekejap, suara malam pecah.
“Serang!”
Teriakan Joko menyalakan keberanian di dada setiap pemuda.
Suara bambu beradu dengan logam, jerit dan tembakan bersahutan.
“Tu! Tu! Tu! Dorrr!”
Langit seakan runtuh oleh gemuruh pertempuran. Hujan peluru menembus udara, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mundur.
Di antara kilatan api dan asap mesiu, Joko berlari di barisan depan, menerjang tanpa ragu. Di wajahnya tak ada takut — hanya keyakinan. “Selama merah putih masih berkibar, kita tidak kalah!” serunya lantang.
Malam itu menjadi malam yang mencekam. Banyak pemuda tumbang, namun tak satu pun mengeluh. Karena mereka tahu, setiap langkah mereka adalah langkah menuju kebebasan.
Ketika fajar menyingsing, cahaya pertama matahari jatuh di atas bukit di ujung desa. Dan di sana — bendera merah putih berkibar dengan megah. Suara gemuruh rakyat membelah udara; tangis haru, tawa syukur, dan doa mengalun menjadi satu irama kebanggaan.
Rakyat berlari ke arah bukit, memeluk para pemuda yang masih hidup, sementara mereka yang gugur terbaring dengan wajah damai.
“Lihatlah,” ujar seorang ibu dengan mata berkaca-kaca, “bendera itu berkibar karena darah anak-anak kita.”
Namun di tengah sorak kemenangan, Joko terbaring di tanah, tubuhnya penuh luka. Napasnya tersengal, matanya menatap langit biru yang mulai terang. Di sekelilingnya, beberapa pemuda menangis menatap sang pemimpin mereka.
Dengan suara pelan tapi jelas, Joko berkata,
“Kita memang kecil… tapi persatuan membuat kita menjadi besar.”
Kalimat itu menjadi nafas terakhirnya. Senyum tipis terukir di wajahnya ketika ia menghembuskan napas terakhir — seolah ia tahu perjuangannya tak sia-sia.
Hari itu, Desa Sawah mencatat sejarahnya sendiri. Dari tanah sederhana itu, api perjuangan pemuda menyala dan tak pernah padam. Mereka bukan hanya berperang melawan penjajah, tapi juga melawan rasa takut, kemalasan, dan ketidakpedulian.
Kini, setiap kali angin berhembus melewati sawah-sawah yang luas, masyarakat percaya suara itu adalah semangat Joko dan kawan-kawan yang masih berbisik dari alam lain:
“Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa — Indonesia.”
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen