Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Muda dan Harapan

Muda dan Harapan

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XI JD

Indonesia di era modern ini seharusnya menjadi negeri yang penuh kemajuan — ekonomi yang kuat, politik yang adil, pendidikan yang merata, dan budaya yang terjaga. Namun, benarkah semua rakyatnya telah benar-benar merasakan arti kemerdekaan? Di balik kata “merdeka”, masih ada yang terbelenggu oleh penjajahan baru: penjajahan oleh keserakahan dan ketidakadilan.

Hukum di negeri ini sejatinya telah ditegakkan, tapi justru banyak yang memelintirnya demi kepentingan pribadi. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat malah kerap menjadi dalang dari banyak penyimpangan sosial. Kasus korupsi merebak di mana-mana — ibarat penyakit yang menggerogoti tubuh bangsa perlahan tapi pasti.

Namun di tengah kegelapan itu, masih ada cahaya kecil yang menolak padam. Cahaya itu bernama Raku, seorang anak desa sederhana yang hidup bersama ayahnya di rumah kayu dekat pantai. Raku memiliki ribuan mimpi, dan ayahnya — yang akrab ia panggil Bapak — menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kerja keras sejak kecil.

Bapak adalah seorang nelayan. Setiap pagi ia berangkat ke laut dengan perahu tua, dan setiap sore ia pulang dengan tubuh lelah namun wajah yang selalu tersenyum. Istrinya, ibu Raku, telah lama meninggal. Sejak saat itu, Raku menjadi alasan Bapak untuk tetap bertahan.

Meski hidup dalam keterbatasan, Raku tidak pernah kehilangan semangat belajar. Ia bersekolah di SMAN 1 Nusa, duduk di bangku kelas tiga bersama sahabat-sahabatnya: Doni, Riko, Ria, dan Della. Mereka berlima dikenal sebagai kelompok yang rajin dan saling mendukung.


Suatu siang, bel istirahat berbunyi.
“Tenggg… tenggg!”
Raku dan teman-temannya keluar kelas. Ria berseru, “Yuk, kumpul di tempat biasa!”
“Gas!” sahut Riko, disambut tawa Doni dan Della.

Mereka menuju pohon besar di belakang sekolah — tempat yang selalu menjadi saksi percakapan mimpi-mimpi remaja. Di sana, sekolah membuat bangku melingkar agar para siswa bisa bersantai di bawah rindang daun.

Raku membuka obrolan, “Kalian nanti mau lanjut kuliah di mana?”
Doni tersenyum penuh semangat. “Kalau aku sih pengen di UGM.”
“Wah, keren!” kata Riko. “Kalau aku pengennya di Bandung, tapi belum tahu kampus apa, sih.”
Della menjawab sambil melirik Ria, “Kalau aku sama Ria maunya masuk jurusan kesehatan, tapi masih bingung kampusnya.”
Ria menimpali, “Kalau kamu gimana, Raku?”

Raku terdiam sejenak. Angin sore berhembus, menggerakkan daun-daun di atas kepala mereka.
“Aku… masih bingung,” katanya pelan. “Antara kuliah atau bantu Bapak kerja.”

Mereka semua saling pandang. Sebelum sempat berkata lagi, bel masuk berbunyi — tenggg tenggg!
“Wah, udah bel!” ujar Doni. “Ayo balik ke kelas!”


Sore itu, Raku pulang ke rumah. Bapak sedang membelah kayu bakar di belakang rumah sederhana mereka.
“Bapak, aku pulang,” sapa Raku.
Bapak tersenyum, “Iya, Nak. Makan dulu, ya. Makanannya sudah Bapak siapkan.”
Raku menolak halus. “Aku tunggu Bapak aja, nggak enak makan sendirian.”
“Belum lapar?” tanya Bapak.
“Lapar sih, tapi aku mau makan bareng.”

Mereka duduk bersama di beranda setelah makan. Suasana sore itu tenang, hanya terdengar suara ombak kecil dari kejauhan.
“Pak,” tanya Raku tiba-tiba, “kalau aku udah tamat, boleh nggak aku bantu Bapak kerja?”
Bapak menatap laut yang memantulkan cahaya senja. “Boleh aja, Nak… tapi Bapak pengennya kamu kuliah dulu.”
“Tapi kuliah itu mahal, Pak.”
Bapak tersenyum. “Kamu nggak perlu khawatir. Selama Bapak bisa bekerja, Bapak akan usahakan. Ilmu itu bekal hidup yang paling berharga.”


Beberapa bulan kemudian, menjelang kelulusan, Raku dan teman-temannya berkumpul lagi di bawah pohon favorit mereka.
“Raku!” seru Doni. “Aku dapat info kampus yang buka beasiswa. Tapi harus ikut tes dulu.”
“Kamu kan pintar,” tambah Ria. “Pasti bisa lolos!”
“Iya, Rak. Coba aja dulu,” kata Riko.
“Bener tuh!” sambung Della. “Siapa tahu keberuntungan berpihak sama kamu.”

Raku tersenyum malu. “Hmm… baiklah, aku coba deh.”
“Semangat ya!” seru mereka bersamaan.

Sebulan kemudian, kabar itu datang. Raku lolos tes beasiswa dan diterima di jurusan hukum. Ia menangis haru dalam pelukan Bapak.
“Lihat, kan, Pak? Aku nggak nyangka bisa sejauh ini.”
Bapak hanya menepuk bahunya. “Itulah hasil kerja keras dan kejujuranmu, Nak.”


Lima tahun berlalu.
Raku kini sudah menjadi pendamping hakim, mengenakan jas rapi, berdiri tegap di ruang sidang. Ia telah menempuh jalan panjang dari anak nelayan miskin menjadi sosok muda yang dipercaya menegakkan keadilan. Tapi satu hal tak pernah berubah — kerendahan hatinya.

Ia ingat betul masa-masa sulit ketika melihat ketidakadilan di sekitarnya, dan itu membuatnya berjanji untuk menjadi bagian dari perubahan. Di setiap keputusan yang ia bantu buat, ia selalu mengingat kata-kata Bapaknya:

“Jadilah seperti kura-kura, Nak. Ia lambat, tapi selalu sampai pada tujuannya.”

Raku pernah bertanya waktu kecil, “Pak, kenapa namaku Raku?”
Bapak menjawab sambil tersenyum, “Raku itu kura-kura dalam bahasa daerah kita. Bapak ingin kamu tumbuh seperti kura-kura — kuat, tabah, dan pantang menyerah.”

Kini ia mengerti.


Raku menatap langit sore dari jendela kantornya. Ia tahu, masih banyak rakyat kecil yang belum benar-benar merasakan kemerdekaan. Tapi ia juga tahu, perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang jujur.

“Indonesia memang sudah merdeka,” gumamnya, “tapi tugas kita belum selesai — kita harus memerdekakan hati dari ketamakan.”

Ia tersenyum, mengingat Bapaknya di kampung. Lalu menatap lambang Garuda di dinding dengan mata yang berkilau.

“Melalui pemuda yang jujur, tekun, dan berani bermimpi, Indonesia emas pasti bisa terwujud.”

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen