Perjuangan Mempertahankan Nilai Kemanusiaan
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XII YM
Di sebuah desa bernama Nusa Kenyikap, berdirilah rumah besar di tengah hamparan kebun sawit dan karet yang luas. Rumah itu milik keluarga berada yang dihormati oleh seluruh warga desa. Di balik kemewahan dan kehormatan itu, tersimpan tiga pribadi dengan warna yang berbeda.
Anak sulung, Pardi, dikenal bijaksana dan berempati tinggi. Adiknya, Sumanto, lembut dan penyabar, sementara si bungsu, Abun, tumbuh menjadi anak yang keras kepala — terbiasa dimanja oleh kasih sayang berlebihan dari kedua orang tuanya.
Meski sering berbuat seenaknya, Abun tak pernah kekurangan kasih. Orang tuanya selalu menuruti keinginannya, berharap cinta mereka bisa membuatnya bahagia. Namun, justru karena itu, Abun tumbuh tanpa mengenal batas antara “keinginan” dan “kebutuhan.”
Malam itu, 28 Oktober 2030 — bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, sekaligus malam sebelum ulang tahun Abun yang ke-17. Di ruang keluarga yang luas, cahaya lampu kristal berpendar di atas meja makan, sementara suara jangkrik terdengar di luar jendela.
Abun menatap ayahnya yang sedang membaca koran. “Yah! Aku mau ponsel baru dari Amerika! Katanya belum rilis di Indonesia, tapi aku mau yang itu!” suaranya memecah keheningan.
Sang Ayah menurunkan korannya perlahan. “Nak, bagaimana Ayah bisa membelikan kalau ponsel itu saja belum dijual di negara kita?”
Wajah Abun memerah. “Aku tidak peduli! Aku mau itu! Barang dari Indonesia jelek, tidak keren, tidak seperti buatan luar negeri!”
Ayahnya menghela napas panjang, menatap putra bungsunya yang ia sayangi tapi juga khawatirkan. “Abun, kita harus mencintai apa yang dimiliki bangsa sendiri. Kalau semua anak muda seperti kamu, siapa yang akan membuat negeri ini maju?”
Namun Abun hanya memalingkan wajah, menahan kesal. “Aku tidak mau tahu. Aku tidak peduli dengan kata ‘nasionalisme’ yang Ayah banggakan itu!” katanya lalu berlari ke kamarnya, membanting pintu keras-keras.
Ayahnya terdiam. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, seolah ikut menghitung jarak antara kebanggaan dan kekecewaan seorang ayah terhadap anaknya sendiri.
Keesokan harinya, suasana rumah dipenuhi kesibukan. Hari ulang tahun Abun telah tiba. Ia berencana mengadakan pesta besar dan mengundang seluruh warga desa. Namun, Abun memberi syarat aneh — setiap tamu yang datang wajib membawa hadiah senilai lima ratus ribu rupiah.
Kabar itu membuat dua kakaknya gelisah.
“Bun, kamu tidak bisa memaksa orang lain seperti itu,” kata Pardi dengan nada lembut namun tegas. “Tidak semua orang punya harta seperti kita. Kau tahu itu, kan?”
Sumanto menimpali, “Benar, Bun. Harta bukan ukuran kebahagiaan. Jangan jadikan uang sebagai syarat untuk diterima atau dihormati.”
Abun menatap mereka dengan mata menantang. “Tapi ini ulang tahunku! Aku berhak minta apa pun yang aku mau!”
Pardi menggeleng perlahan. “Kau terlalu sibuk mengejar gengsi, Bun. Coba kau lihat ke luar sana, banyak orang yang bahkan tidak tahu rasanya makan tiga kali sehari. Mereka tetap bersyukur, sementara kamu yang punya segalanya justru lupa berterima kasih.”
Sumanto menambahkan dengan suara lembut namun tajam, “Bayangkan kalau suatu hari kita kehilangan semuanya, apa kamu masih bisa tersenyum seperti sekarang? Hidup tidak selalu tentang meminta, Bun. Kadang, kita harus belajar memberi.”
Kata-kata itu seperti tamparan halus bagi hati Abun. Ia terdiam. Untuk pertama kalinya, suaranya pelan ketika menjawab, “Kak, aku… aku tidak pernah berpikir sejauh itu.”
Sumanto tersenyum, menepuk bahunya. “Tak apa, Bun. Yang penting kamu mau belajar. Hidup bukan tentang berapa banyak yang kita punya, tapi bagaimana kita menghargai apa yang ada.”
Malam tiba, pesta ulang tahun Abun berjalan dengan sederhana — berbeda dari rencana awalnya. Tak ada permintaan hadiah mahal, tak ada kemewahan berlebihan. Di halaman rumah, lampu-lampu gantung berkelap-kelip seperti bintang kecil, menerangi wajah Abun yang tampak tenang.
Dalam sambutannya, suaranya terdengar bergetar, namun penuh ketulusan.
“Terima kasih sudah datang. Aku ingin meminta maaf atas kesalahanku selama ini. Aku dulu lupa caranya bersyukur. Tapi hari ini aku ingin berubah. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik, seperti para pahlawan yang berjuang tanpa pamrih untuk bangsa ini.”
Para tamu bertepuk tangan. Kedua kakaknya tersenyum bangga, sementara ayahnya menatap anak bungsunya dengan mata berkaca-kaca.
Setelah pesta usai, Abun mengumpulkan pakaian, sepatu, dan barang-barangnya yang masih layak pakai. “Ini semua akan aku sumbangkan ke lembaga sosial,” katanya sambil membungkus satu per satu.
Ayahnya menghampiri, menepuk pundaknya dengan lembut. “Sekarang Ayah tahu, api semangat pemuda juga ada di hatimu, Nak.”
Abun tersenyum. “Terima kasih, Yah. Aku baru mengerti arti perjuangan — bukan hanya melawan penjajahan, tapi juga melawan keegoisan dalam diri sendiri.”
Malam itu, langit Nusa Kenyikap bertabur bintang. Di antara cahaya kecil itu, satu bintang tampak paling terang, seolah menjadi saksi perubahan seorang anak muda yang akhirnya menemukan arti sejati dari Sumpah Pemuda:
Berjuang, bersatu, dan menghargai bangsanya sendiri.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen