Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

SEMANGAT JUANG

SEMANGAT JUANG

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XII YP II

Udara malam di hutan Yogyakarta terasa lembab, menyusup ke sela-sela dedaunan dan tenda-tenda perkemahan yang berdiri rapi di tepi jalan berbatu. Sekolah mereka—sebuah SMA di tengah kota tua—sedang mengadakan perkemahan pelajar di lokasi yang dulunya merupakan bekas bangunan penjajahan Belanda. Penduduk sekitar sering berkata, tempat itu “berisi bisik-bisik masa lalu” — angker, katanya.

Bagi sebagian siswa, itu hanya mitos yang diceritakan untuk menakut-nakuti. Namun bagi tiga siswa yang terkenal bandel—Jeno, Eric, dan Haikal—cerita itu justru menjadi tantangan.

“Kalau orang bilang tempat ini berhantu, berarti harus kita buktikan,”
ujar Haikal dengan senyum nakal.
“Kamu serius? Gak takut diserang penjaga malam?” tanya Jeno sambil terkekeh.
“Lagian ngapain juga percaya hal kayak gitu,” timpal Eric, mengangkat bahunya santai.

Dan malam itu, rasa ingin tahu mereka menuntun langkah ke arah sekolah tua di pinggir hutan—bangunan yang dindingnya berlumut, jendelanya pecah, dan di dalamnya konon masih terdengar langkah para penjajah.

Namun, baru beberapa langkah mereka di dalam kawasan itu, terdengar suara berat di belakang.

“Hei! Kalian ngapain di sini malam-malam?!”

Suara tegas kakak Pembina membuat mereka terlonjak. Mereka tertangkap. Akhirnya, hukuman pun dijatuhkan: menjaga tenda semalaman bersama Pembina.


Rencana Nakal di Tengah Hukum

Tapi bukannya jera, Haikal malah mendapat ide baru.

“Eh, gimana kalau nanti kita kabur aja waktu Kak Pembina lengah?” bisiknya dengan mata menyala.
“Gila aja! Kalau ketahuan lagi, tamat riwayat,” bisik Jeno.
“Aku lihat kok, Pembina lain lagi kumpul sama guru. Ini kesempatan,” kata Eric penuh keyakinan.

Mereka pun menyusun rencana kecil. Dan benar saja, ketika sang Pembina tertidur karena kelelahan, mereka bertiga kabur diam-diam menuju bangunan tua itu.

Udara malam semakin dingin. Angin berdesir seperti bisikan tak kasatmata. Mereka menyalakan senter kecil dan melangkah ke dalam kelas tua yang konon paling angker.

“Tempat ini… beneran bikin merinding,” gumam Jeno.

Tiba-tiba—BRAK!
Pintu menutup sendiri, seolah ada tangan tak terlihat yang menghempaskannya. Angin berhenti berhembus. Hening yang mencekam menelan suara mereka.

“Buka pintunya, cepat!” teriak Eric panik.

Mereka mendorong keras, tapi sia-sia. Pandangan mulai kabur, dan gelap menyelimuti.


Kembali ke Masa Penjajahan

Ketika mereka membuka mata, dunia sudah berubah. Ruangan itu kini bersih, terang, dan ramai dengan suara teriakan di luar. Suara tembakan menggema seperti guntur membelah langit.

“Apa… yang terjadi?” ucap Jeno pelan, ternganga.

Seorang siswa berseragam lusuh masuk tergesa-gesa.

“Cepat! Kita harus menyelamatkan diri!”

Tanpa berpikir panjang, mereka mengikuti kerumunan yang berlari keluar. Di luar sana, bendera merah putih berkibar di langit abu-abu, di tengah kobaran api dan teriakan “Merdeka!” yang membelah udara.

Di antara kekacauan itu, mereka menyaksikan seorang siswa gugur di depan mata mereka, tertembak oleh tentara penjajah. Darahnya menodai tanah yang lembab. Napas mereka tercekat, kaki gemetar.

“Tuhan… kita di masa penjajahan,” bisik Haikal, wajahnya pucat.

Dari kejauhan, muncul sekelompok pemuda bersenjata bambu runcing. Mereka berlari mendekat, berteriak dalam bahasa yang tak sepenuhnya dimengerti.

“Mereka ngomong apa sih?” tanya Eric cemas.
“Mereka menyuruh kita mencari tempat aman,” jelas salah satu siswa.
“Kenapa mereka bahasanya beda?” Jeno bertanya lagi.
“Karena mereka dari daerah yang berbeda,” jawab siswa itu.
“Tapi semangat mereka sama—membela tanah air.

Tiga pemuda modern itu terdiam. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang dari latar berbeda berjuang tanpa pamrih, hanya karena cinta kepada bangsa yang satu.


Kembali ke Masa Kini

Setelah pertempuran mereda, pemimpin para pemuda mendekati mereka. Wajahnya tegas namun ramah, dengan sorot mata yang tajam tapi hangat.

“Kalian bukan dari masa ini, kan?” ucapnya perlahan.
Mereka terdiam. Hanya bisa menatap tak percaya.
“Kembalilah. Orang-orang di tempat kalian sedang menunggu. Ikuti jalan itu, lurus… dan jangan menoleh ke belakang.”

Dengan langkah berat, mereka berjalan di jalan tanah yang panjang dan berkabut, menolak keinginan untuk melihat ke belakang. Hati mereka penuh tanda tanya—apakah itu nyata, atau hanya mimpi?

Tiba-tiba, cahaya terang menyilaukan mata.
Mereka tersentak—dan ketika membuka mata, mereka sudah berada di tenda kemah, dikelilingi Pembina dan teman-teman yang cemas.

“Syukurlah kalian sadar! Kalian kenapa?” tanya Kak Pembina.

Mereka bertiga saling pandang, lalu menjawab singkat:

“Kami… hanya ketakutan dan pingsan, Kak.”

Tak ada satu pun dari mereka yang berani menceritakan kebenarannya. Namun di dalam hati, mereka tahu—mereka baru saja menyaksikan sejarah hidup.


Refleksi

Sejak malam itu, Jeno, Eric, dan Haikal tak lagi dikenal sebagai pembuat onar. Mereka menjadi siswa yang disiplin, rajin, dan selalu aktif dalam kegiatan sekolah.

Setiap kali melihat bendera merah putih berkibar di tiang sekolah, mereka akan terdiam sejenak—mengingat kobaran semangat juang para pemuda zaman dulu yang rela mengorbankan segalanya demi satu kata suci: Merdeka.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen