Semangat Persatuan Anak Muda Indonesia
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas X CA
Langit pagi di Jakarta menjelma seperti kanvas biru yang dioles mentari. Ribuan anak muda berjalan beriringan menuju Stadion Gelora Bung Karno — tempat di mana semangat persatuan pernah bergema puluhan tahun silam. Di antara lautan manusia itu, berdiri Nova Verdiana, siswi SMA Indonesia Hebat, mengenakan pakaian adat tenun khas Dayak berwarna merah dan emas yang berkilau dalam cahaya pagi.
Di dadanya, jantung berdetak tak beraturan. Di tangannya, selembar naskah puisi bertuliskan judul besar: Satu Nusa, Satu Bangsa.
Ia akan tampil di panggung utama lomba baca puisi nasional dalam rangka Hari Sumpah Pemuda.
Namun di dalam kepalanya, berputar ribuan pikiran.
“Bagaimana kalau aku salah baca?”
“Bagaimana kalau mereka menertawakanku?”
Rasa gugup menyusup seperti kabut, perlahan melingkupi hatinya. Ia memejamkan mata, mengingat kembali kata-kata gurunya, Bu Randa:
“Nova, keberanian itu bukan tidak takut. Keberanian adalah tetap melangkah walau kau gemetar.”
Dua minggu sebelumnya, Nova dipanggil ke ruang guru saat jam pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Randa menatapnya dengan senyum lembut.
“Nova, kami ingin kamu mewakili sekolah untuk lomba puisi di peringatan Sumpah Pemuda,” katanya.
Nova terpaku. “Saya, Bu? Banyak teman lain yang lebih hebat…”
Bu Randa menggeleng. “Kamu punya sesuatu yang mereka tidak punya: kejujuran dalam setiap kata. Baca puisimu seperti kamu berbicara dengan hati, bukan dengan mulut.”
Sejak hari itu, Nova berlatih setiap malam. Di kamar yang sederhana, ia berdiri di depan cermin, membaca bait demi bait. Kadang suaranya serak, kadang napasnya patah, tapi semangatnya tak pernah padam. Ayahnya yang bekerja sebagai penenun sering duduk di ambang pintu, tersenyum melihat putrinya berjuang.
“Tenun itu kuat karena benangnya saling berjalin, Nak,” katanya suatu malam. “Begitu juga bangsa kita. Takkan kuat kalau berdiri sendiri.”
Kata-kata itu menancap di hati Nova, menjadi bagian dari puisinya.
Hari lomba tiba. Stadion dipenuhi bendera dari berbagai daerah. Anak-anak dari Aceh, Maluku, Kalimantan, dan Jawa duduk berdampingan, membawa warna dan cerita masing-masing.
Ketika giliran Nova diumumkan, ia naik ke panggung. Cahaya lampu menyorot wajahnya. Tangannya bergetar memegang mikrofon, tapi begitu ia mengangkat pandangan, semuanya lenyap — yang tersisa hanya suara jantungnya dan naskah di tangan.
Ia mulai membaca:
“Aku adalah putri bumi yang menenun mimpi dari serat perbedaan.
Aku lahir dari laut yang sama, meski pantainya berbeda.
Aku berjalan di tanah yang sama, meski bahasaku beragam.
Tapi darahku, merah yang sama — darah Indonesia.”
Suara Nova menggetarkan udara. Penonton diam. Dalam setiap jeda, ada keyakinan yang tumbuh. Dalam setiap kata, ada cinta yang menyala.
“Kami pemuda-pemudi yang bersumpah
Bukan hanya dengan bibir, tapi dengan tindakan!
Kami yang menolak dipecah oleh warna, suku, dan nama.
Kami yang berdiri tegak di bawah satu langit: Indonesia!”
Tepuk tangan membahana. Nova menunduk, air mata menitik tanpa ia sadari. Ia tahu, bukan hanya karena berhasil membaca puisi dengan baik, tapi karena ia merasakan sesuatu yang lebih dalam — kebanggaan menjadi bagian dari bangsa yang beragam namun satu jiwa.
Beberapa jam kemudian, hasil lomba diumumkan.
“Juara dua lomba baca puisi nasional… Nova Verdiana dari SMA Indonesia Hebat!”
Sorak-sorai menggema. Nova menutup mulutnya, tak percaya. Ia naik ke panggung lagi, kali ini bukan sebagai peserta, tapi pemenang.
Bu Randa menemuinya setelah acara. “Kau luar biasa, Nova,” katanya sambil memeluknya.
Nova menatap gurunya, matanya berkilau. “Terima kasih, Bu. Tapi saya sadar, piala ini bukan milik saya seorang. Ini milik semua anak muda Indonesia yang mau percaya bahwa kita bisa bersatu.”
Malam itu, ketika ia tiba di rumah, Nova menunjukkan piala pada orang tuanya. Ayahnya memegangnya perlahan, seolah menyentuh sesuatu yang suci.
“Lihat, Nak,” katanya dengan mata berkaca, “tenunan yang kuat akhirnya menghasilkan kain yang indah.”
Nova tersenyum, menatap langit malam dari jendela kamarnya. Bintang-bintang berkelap-kelip, seperti mata para pemuda 1928 yang masih menyaksikan generasi kini melanjutkan perjuangan mereka — bukan dengan senjata, tapi dengan kata, karya, dan persatuan.
Ia menggenggam naskah puisinya, kini lusuh oleh keringat dan air mata. Di bagian akhir tertulis kalimat kecil yang ia tulis sendiri malam sebelum lomba:
“Aku bukan siapa-siapa, tapi aku bagian dari Indonesia.
Dan itu sudah cukup membuatku besar.”
Nova menutup mata. Dalam diam, ia mengucap sumpahnya sendiri — bukan di podium, tapi di dalam hati:
“Aku akan terus menjaga semangat ini, karena di dadaku mengalir darah para pemuda yang pernah bersumpah untuk bersatu.”
Dan malam itu, di bawah langit Jakarta yang luas, seorang gadis Dayak berusia tujuh belas tahun menjadi saksi bahwa semangat Sumpah Pemuda tak pernah pudar — ia hanya berpindah rumah, dari sejarah ke hati generasi muda.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen