Semangat Tiga Sahabat
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XI SN
Hujan sore turun perlahan di atas atap seng rumah tua di sudut desa kecil. Suara rintiknya terdengar seperti irama lembut yang menemani tiga pemuda duduk melingkar di sebuah gubuk bambu sederhana. Mereka adalah Joko, Tomo, dan Marni — tiga sahabat yang tumbuh bersama dalam masa sulit penjajahan Belanda.
Joko, pemuda tangguh yang dikenal rajin dan berbakti, duduk dengan pandangan tajam menatap luar jendela. Hatinya bergejolak setiap kali melihat rakyat di desanya bekerja keras hanya untuk memberi upeti kepada penjajah.
“Setiap hari kita melihat penderitaan,” gumamnya pelan. “Aku sudah bosan dengan semua ini.”
Marni, satu-satunya perempuan di antara mereka, memeluk lututnya. Ia menghela napas panjang. “Ya mau bagaimana lagi, Joko?” katanya lesu. “Kita ini cuma rakyat kecil. Apa yang bisa kita lakukan? Melawan Belanda? Itu sama saja bunuh diri.”
Sebelum Joko sempat menjawab, Tomo, sahabatnya yang dikenal cerdas dan berpikiran tajam, menatap Marni dengan tegas. “Marni, kau tidak boleh berkata begitu. Kalau semua orang berpikir kita tak bisa, maka tak akan ada yang berani melangkah. Mungkin kita memang kecil, tapi semangat kita bisa menyalakan keberanian yang besar.”
Suasana hening sejenak. Hanya suara hujan yang semakin deras di luar. Joko menatap kedua sahabatnya dengan mata yang berapi. “Kau benar, Tom. Kita tidak bisa diam saja. Kita harus melakukan sesuatu, walau kecil. Aku ingin bangsa ini bebas dari belenggu penjajahan.”
Marni menunduk, bibirnya bergetar. Ia ingin menyangkal, tapi di hatinya ada sesuatu yang menyala — rasa malu sekaligus kagum pada tekad kedua sahabatnya.
Hari-hari berikutnya, mereka bertiga mulai sering bertemu di tempat yang sama, berdiskusi dengan semangat membara. Mereka berbicara tentang cita-cita, tentang Indonesia yang merdeka, dan tentang cara membuat suara mereka didengar.
Tomo, yang gemar membaca koran bekas milik Belanda, menjelaskan banyak hal tentang dunia luar. “Lihat, di negeri-negeri lain, pemuda-pemudi mereka berani bersatu melawan ketidakadilan. Kenapa kita tidak bisa begitu juga?”
Joko mengangguk mantap. “Kita harus memulai dari diri kita sendiri. Dari pemuda-pemuda di desa ini. Kita ajak mereka bersatu, kita tanamkan semangat perjuangan.”
Marni yang awalnya ragu kini mulai ikut berbicara. “Tapi bagaimana kalau mereka takut? Belanda mengawasi setiap gerakan rakyat.”
Joko tersenyum tipis. “Ketakutan adalah penjara terbesar. Kalau kita terus diam, penjajahan tak akan pernah berakhir.”
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, ketiganya menulis sebuah pernyataan di selembar kertas lusuh. Di atasnya tertulis dengan tinta hitam:
“Kami, para pemuda dan pemudi Indonesia, bersatu demi kemerdekaan. Kami menolak tunduk pada penjajahan dan berjanji memperjuangkan bangsa ini hingga titik darah penghabisan.”
Joko membaca dengan suara bergetar, Tomo mengangguk, dan Marni meneteskan air mata. “Ini langkah kecil,” kata Tomo, “tapi setiap perjuangan besar selalu dimulai dari tekad kecil yang berani.”
Mereka kemudian menyalin surat itu beberapa lembar dan menyebarkannya diam-diam ke desa-desa tetangga. Beberapa hari kemudian, para pemuda mulai berdatangan — ada yang membawa semangat, ada yang membawa rasa ingin tahu, dan ada pula yang datang hanya untuk mendengar.
Di bawah bimbingan Joko, mereka berkumpul setiap malam di rumah bambu itu, berdiskusi tentang perjuangan, saling menyemangati, dan membayangkan hari di mana bendera merah putih bisa berkibar tanpa rasa takut.
Namun, perjuangan itu tak berjalan mudah. Suatu malam, pasukan Belanda melakukan patroli dan menemukan selembar salinan pernyataan mereka. Mereka mulai mencurigai pergerakan para pemuda di desa.
Marni panik. “Joko! Kalau Belanda tahu kita yang menulis itu, kita bisa ditangkap!”
Joko menatapnya dengan tenang. “Kalau aku ditangkap, jangan takut. Suara kita sudah didengar. Api ini tidak akan padam.”
Tomo menambahkan, “Lebih baik kita melangkah dengan risiko daripada hidup dalam diam yang panjang.”
Marni menggigit bibirnya, menahan air mata. “Aku takut kehilangan kalian…”
Joko tersenyum. “Kau takkan kehilangan apa pun, Marni. Karena semangat kita akan hidup selamanya — di dada semua anak muda Indonesia.”
Beberapa hari kemudian, benar saja. Joko dan Tomo ditangkap oleh pasukan Belanda karena dicurigai menghasut rakyat. Mereka dibawa ke markas penjajah, sementara Marni hanya bisa menangis dari kejauhan, tak berdaya.
Namun, semangat dua sahabatnya tidak mati. Di penjara, Joko sempat menulis surat dengan potongan arang di dinding:
“Jika suatu hari Indonesia merdeka, ingatlah bahwa kemerdekaan itu lahir dari keberanian kecil untuk berkata tidak pada penindasan.”
Tomo membaca tulisan itu setiap malam, mengulanginya seperti doa. Dan di luar sana, Marni meneruskan perjuangan mereka dengan diam-diam menyebarkan semangat kepada pemuda-pemudi lain.
Tahun-tahun berlalu, dan Indonesia akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya. Joko dan Tomo mungkin tak lagi ada untuk menyaksikan hari itu, tapi semangat mereka tak pernah gugur.
Marni berdiri di depan rumah bambu yang kini kosong, menatap bendera merah putih yang berkibar di langit biru. Angin bertiup lembut, membawa suara masa lalu.
“Aku tidak sendirian,” bisiknya. “Kalian hidup dalam setiap pemuda yang mencintai negeri ini.”
Dari kisah Joko, Tomo, dan Marni, kita belajar bahwa semangat perjuangan sekecil apa pun adalah langkah besar menuju kebebasan.
Keberanian mereka adalah cermin bagi generasi muda — bahwa kemerdekaan bukan hanya hadiah, melainkan hasil dari keyakinan dan pengorbanan tanpa pamrih.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen