SEMUA UNTUK SATU
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas XII PR
Langit sore mulai berwarna jingga saat lonceng sekolah berdentang tanda pulang. Seorang siswi bernama Sasha berjalan pelan menuju rumah sambil memeluk buku catatan sejarahnya. Ia mendapat tugas dari Bu Siska, gurunya, untuk menceritakan asal-usul kampung halamannya.
Begitu sampai di rumah, Sasha langsung bertanya pada ibunya,
“Bu, asal-usul kampung kita itu dari mana, ya?”
Ibunya hanya tersenyum, lalu menggeleng pelan.
“Ibu kurang tahu, Nak. Tapi mungkin Nenekmu masih ingat. Coba kau tanyakan padanya sebelum tidur nanti.”
Malam itu, Sasha menghampiri kamar neneknya. Udara dingin menembus celah jendela, dan lampu pijar kecil menerangi ruangan sederhana itu. Dengan lembut, Sasha menarik selimut nenek dan berkata,
“Nek, ceritakan padaku asal-usul kampung kita.”
Neneknya tersenyum lembut.
“Ah, kau ingin tahu kisah lama itu? Baiklah, dengarkan baik-baik, Nak. Ini kisah dua anak kecil yang hidup dua ratus tahun lalu—kisah tentang persahabatan, dendam, dan persatuan.”
Pada masa itu, di tepi sungai yang memisahkan dua desa, hiduplah dua anak kecil. Seorang di sisi barat bernama Rama, dan seorang lagi di sisi timur bernama Damar.
Suatu hari, Rama tengah memancing ikan di tepi sungai, sementara Damar di seberang sana asyik melempar batu ke air.
“Woi! Jangan lempar batu di sini, aku lagi mancing!” teriak Rama kesal.
“Terserah akulah! Emang sungai ini punya bapakmu?” balas Damar ketus.
Pertengkaran kecil itu pun pecah. Mereka saling melempar kata—bahkan batu—ke arah sungai yang sama, hingga kelelahan membuat keduanya terdiam.
Hening sesaat. Lalu Rama berkata,
“Hei, siapa namamu?”
“Aku Damar, dari desa seberang timur. Kau siapa?”
“Aku Rama, dari desa barat.”
Sejak hari itu, dua bocah yang awalnya saling bermusuhan justru menjadi sahabat. Setiap sore mereka bertemu di tepi sungai, bermain dan bercanda hingga matahari terbenam.
Meski mereka tahu dua desa tempat mereka tinggal sedang dilanda konflik antarsuku, mereka berjanji suatu hari nanti akan mengakhiri pertikaian itu ketika mereka tumbuh dewasa.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Suatu hari, ayah Rama merasa curiga karena anaknya sering pulang terlambat. Diam-diam, ia membuntuti Rama hingga ke tepi sungai—dan di sana ia melihat putranya bermain dengan anak dari desa musuh.
“Rama! Apa yang kau lakukan?!” teriak ayahnya marah.
Ternyata, di sisi lain sungai, ayah Damar juga sedang membuntuti anaknya. Pertemuan yang seharusnya menjadi simbol perdamaian justru berubah menjadi awal bencana.
Amarah para ayah yang buta oleh dendam lama membuat mereka menggerakkan pasukan. Perang kecil pun pecah di antara dua desa.
Dentuman senjata dan jerit tangis menggema malam itu. Dalam kekacauan, adik Rama menjadi korban. Melihat adiknya tergeletak tak bernyawa, Rama kehilangan kendali dan menyerang membabi buta. Dalam amarahnya, tanpa sadar ia menebas kakak Damar yang sedang berusaha menolong.
Darah menetes di tanah di mana dulu mereka biasa bermain. Pertemanan dua bocah suci berubah menjadi permusuhan dua pemimpin masa depan.
Tahun demi tahun berlalu. Rama dan Damar tumbuh dewasa, masing-masing menjadi pemimpin desa mereka. Luka masa lalu masih membara di hati keduanya. Dendam turun-temurun itu membuat situasi semakin panas, hingga akhirnya pecah lagi perang besar di antara dua pihak.
Pertempuran berlangsung berhari-hari. Pedang beradu, panah melesat di udara, dan jeritan kesakitan memenuhi lembah tempat mereka berperang.
Namun, ketika matahari terbit pada hari ketujuh, tak ada pemenang. Yang tersisa hanya tumpukan tubuh tak bernyawa dan tangisan keluarga yang ditinggalkan.
Rama dan Damar berdiri saling berhadapan di tengah asap perang yang perlahan menghilang. Mereka saling menatap lama, lalu menunduk.
“Apa yang kita lakukan, Damar?” tanya Rama dengan suara parau.
“Kita membiarkan amarah membutakan mata kita,” jawab Damar lirih.
Mereka akhirnya sadar—tidak ada kemenangan dalam perang antar saudara. Hanya duka dan kehilangan.
Hari itu juga, mereka duduk bersama di tepi sungai yang dulu mempertemukan mereka. Di tempat yang sama di mana tawa masa kecil dulu bergema, kini mengalir air mata penyesalan.
Rama mengulurkan tangannya.
“Kita akhiri ini, Dam. Tak ada lagi dua desa. Mulai hari ini, biarlah semua untuk satu.”
Damar menggenggam tangan itu erat, lalu berkata,
“Dan satu untuk semua.”
Dari perjanjian itulah lahir sebuah desa baru—desa yang kini menjadi kampung halaman Sasha. Desa yang lahir dari pertumpahan darah, tapi tumbuh dari akar perdamaian.
Nenek menutup ceritanya dengan suara bergetar. “Itulah, Nak, asal mula kampung kita. Desa ini berdiri dari pengorbanan dua sahabat yang belajar bahwa persatuan lebih berharga dari dendam.”
Sasha terdiam, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Nek. Cerita ini… luar biasa.”
Keesokan harinya, di depan kelas, Sasha berdiri dengan percaya diri dan mulai bercerita tentang asal-usul desanya. Suaranya tenang, tapi penuh makna.
Seluruh kelas terdiam mendengarkan. Bahkan Bu Siska menatapnya dengan kagum.
“Luar biasa, Sasha. Ceritamu mengajarkan kami arti sejati dari Sumpah Pemuda—bahwa persatuan selalu dimulai dari hati yang mau memaafkan.”
Sasha tersenyum bangga. Di dalam hatinya, ia tahu, kisah itu bukan hanya legenda — tapi warisan semangat kebersamaan yang harus dijaga selamanya.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen