Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Seorang Pemuda yang Pantang Menyerah

Seorang Pemuda yang Pantang Menyerah

(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas X LN

Pagi di kota kecil itu terasa damai. Langit biru menebarkan cahaya lembut, seperti janji baru yang terukir di udara. Di meja kayu di pojok kamarnya, Ziov duduk menatap lembaran kertas kosong. Tangan kanannya memegang pena, tapi tak satu kata pun tertulis. Kertas itu seputih pikirannya yang buntu.

“Tema: Sumpah Pemuda,” gumamnya pelan. Suara itu terdengar seperti bisikan yang berat, mengandung beban harapan. Di luar, suara ayam berkokok dan motor tetangga lewat, tapi semuanya samar — pikirannya terjebak di ruang kosong antara niat dan ragu.

Tahun lalu, Ziov pernah mengikuti lomba menulis cerpen di sekolah untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda. Namun ceritanya tak pernah selesai. Ia menyerah di tengah jalan. Ketika pemenang diumumkan, namanya tak ada di daftar. Ia tertawa di depan teman-temannya, tapi malamnya ia menangis diam-diam. Kegagalan itu seperti bayangan yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi.

Namun kali ini berbeda. Saat pengumuman lomba kembali dipajang di mading sekolah, hatinya bergetar. “Aku harus coba lagi,” bisiknya. Ia ingat pesan ayahnya yang kini bekerja di luar kota: “Jangan takut gagal, karena gagal hanyalah batu kecil di jalan panjang menuju keberhasilan.”

Hari-hari berikutnya, Ziov mulai berlatih. Ia membaca cerpen-cerpen dari majalah sekolah, menyalin kalimat yang indah, dan mencoba menulis ulang kisah tentang pemuda Indonesia yang bersatu melawan penjajah. Malam-malamnya kini ditemani cahaya lampu meja dan aroma kopi hitam yang menempel di udara.

Tapi jalan menuju keberhasilan tak pernah mulus. Kadang ide-ide lenyap seperti kabut tersapu angin. Kadang ia menatap kertas lama-lama, hanya untuk menulis satu kalimat yang ia hapus kembali. Dalam keheningan itu, ia sering berbicara dengan dirinya sendiri.

“Kenapa susah sekali, ya?”
“Karena kau belum percaya pada dirimu sendiri,” jawab hatinya.

Suatu malam, hujan turun deras. Ziov duduk di dekat jendela, memandangi butiran air yang berlari di kaca. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu: kisah para pemuda 1928 yang berikrar dalam satu suara. Mereka pun pasti pernah ragu, pernah takut, tapi mereka tetap melangkah. “Kalau mereka bisa melawan penjajahan, kenapa aku tidak bisa melawan kemalasanku sendiri?” katanya dalam hati.

Sejak malam itu, ia menulis dengan tekad baru. Ia tak lagi menunggu inspirasi datang — ia menciptakannya. Setiap kalimat lahir dari keyakinan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata, seperti bambu runcing dalam perang. Cerpennya ia beri judul “Api di Dalam Dada” — kisah tentang seorang pelajar yang belajar arti perjuangan lewat persahabatan lintas suku di sekolahnya.

Hari lomba pun tiba. Aula sekolah dipenuhi siswa-siswa yang gugup tapi antusias. Panitia memberikan waktu tiga jam untuk menulis cerpen dengan tema “Sumpah Pemuda dan Semangat Persatuan.” Ziov duduk di baris tengah, menggenggam pena seperti menggenggam keberaniannya sendiri.

Tiga jam berlalu tanpa ia sadari. Tangannya bergerak cepat, jantungnya berpacu dengan waktu. Ketika bel tanda waktu habis berbunyi, ia menulis titik terakhir dengan napas terengah, tapi matanya berkilau. “Selesai,” katanya pelan, kali ini tanpa ragu.

Beberapa minggu kemudian, hari pengumuman tiba. Aula sekolah kembali ramai. Satu per satu nama disebut: juara tiga, bukan Ziov. Juara dua, juga bukan. Ia menunduk, setengah pasrah. Tapi ketika pembawa acara menyebut,

“Juara pertama lomba menulis cerpen Sumpah Pemuda tahun ini adalah… Ziov dari kelas X LN!”

Seketika ruangan bergemuruh. Teman-temannya bersorak, guru-guru tersenyum bangga. Ziov berdiri kaku, tak percaya. Saat naik ke panggung untuk menerima piala, tangannya bergetar. Ia melihat ke arah kursi penonton, seolah mencari seseorang.

Dalam bayangannya, ia melihat sosok ayah tersenyum. Ia juga melihat para pemuda 1928 berdiri di antara kerumunan — Soegondo, Amir, dan Yamin — menatapnya dengan mata yang penuh kebanggaan.

Ketika ia memegang piala itu, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Terima kasih,” katanya lirih, “untuk semua kegagalan yang membuatku belajar tentang arti tekad.”


Malamnya, Ziov duduk di beranda rumah, menatap langit yang penuh bintang. Di tangan kanannya, piala berkilau terkena cahaya bulan. Di udara, masih tercium aroma tanah basah sisa hujan sore tadi. Ia teringat perjuangannya — malam-malam penuh lelah, rasa ragu, dan kata-kata yang ia tulis dan hapus berulang kali. Semua kini terasa berharga.

Ibunya keluar membawa secangkir teh hangat. “Bangga, Nak?”
Ziov tersenyum. “Bangga, tapi bukan karena menang, Bu. Karena akhirnya aku tahu rasanya tidak menyerah.”

Ibu menatapnya penuh kasih. “Nah, itulah arti Sumpah Pemuda. Bukan hanya berikrar di bibir, tapi berjuang sepenuh hati.”

Angin berhembus lembut, membawa suara jangkrik dan bau wangi tanah. Ziov memejamkan mata, membiarkan semua kenangan hari itu menari di benaknya. Di dada, ada sesuatu yang bergetar — bukan sekadar kebanggaan, tapi rasa cinta mendalam pada negeri yang telah memberinya kesempatan untuk bermimpi.

Dan di bawah langit malam Indonesia, seorang pemuda bernama Ziov tersenyum, menyadari bahwa perjuangan tak selalu berwujud perang. Kadang ia hadir dalam bentuk sederhana — keberanian untuk mencoba lagi.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen