(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik kelas X MT
Kabut menari di atas Sungai Kapuas pagi itu. Hutan Kalimantan bernafas perlahan, seperti raksasa tua yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. Di sela desau angin, suara burung enggang menggema, membawa kisah lama yang masih bergetar di udara — kisah tentang batu hijau bercahaya dan makhluk raksasa bernama Nabau, yang menelan batu itu hingga dunia diselimuti gelap selama seratus tahun.
Orang-orang Dayak Iban masih mengingat ramalan tua: “Akan lahir seorang pemuda bernama Tirta Gayu, yang akan memutus kutukan dan menyalakan cahaya bagi tanah leluhurnya.”
Seratus tahun berlalu. Di tepi hutan yang sama, seorang anak lahir pada malam hujan deras. Petir menyambar, dan air sungai meluap seolah alam ikut bersaksi atas kelahirannya. Ibu si bayi menatapnya dengan mata basah, membisikkan nama yang ia dapat dari mimpi: Tirta Gayu — air kehidupan.
Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai yang sabar. Tirta tumbuh menjadi pemuda tangguh, tapi hatinya rapuh saat ibunya wafat. Saat ia membersihkan kamar mendiang ibunya, ia menemukan sebuah Mandau tua bersarung kayu ukir dan sepucuk surat lusuh. Tulisan tangan pada surat itu gemetar tapi tegas:
“Carilah makhluk yang menelan batu hijau bercahaya.
Namanya Nabau.
Hanya Mandau ini yang dapat menembus kulitnya.
Dan hanya pemuda bernama Tirta Gayu yang dapat mengakhiri kegelapan.”
Tirta membaca surat itu berulang kali. Angin malam menerobos jendela, membawa suara yang terdengar seperti bisikan leluhur. Ia tahu, panggilan itu bukan sekadar legenda. Ini tanggung jawab.
Malam itu, ia berdiri di bawah langit penuh bintang, menatap cahaya bulan yang terpantul di permukaan sungai. “Kalau benar aku yang dipilih,” gumamnya, “aku tidak akan lari.”
Perjalanannya dimulai keesokan harinya. Ia menyusuri hutan yang seperti labirin hidup — akar menjuntai seperti ular, pepohonan berdesir seperti bernapas. Ia tidur di bawah bintang, makan dari hasil buruan, dan berdoa pada roh penjaga sungai.
Berbulan-bulan ia berjalan, sampai akhirnya tiba di tempat yang disebut “Perut Dunia” — danau besar di jantung hutan, di mana airnya berwarna hijau zamrud. Ketika ia menatap permukaannya, tiba-tiba riak besar muncul. Dari bawah air, tubuh raksasa melingkar naik, matanya sebesar tempayan, lidahnya menjulur seperti tombak. Nabau.
“Siapa manusia yang berani mengusik tempatku?” desisnya. Suaranya berat, seperti gemuruh petir yang menembus bumi.
Tirta menggenggam Mandau. “Aku datang bukan untuk mengusik, tapi mengakhiri kegelapanmu.”
Makhluk itu tertawa, panjang dan menggema. “Anak manusia, seratus tahun kalian hanya bicara tentang keberanian. Sekarang buktikan!”
Pertempuran pun pecah. Air memercik, pohon-pohon tumbang. Tirta melompat dari batu ke batu, menghindari ekor raksasa itu yang menyapu tanah seperti badai. Mandau di tangannya berkilat ketika menyentuh sinar matahari yang lolos dari sela awan.
Namun Nabau terlalu kuat. Sekali kibasan ekor, Tirta terpental dan menghantam batu besar. Darah mengalir di pelipisnya. Ia terhuyung, tapi matanya tetap menyala.
“Aku tidak akan menyerah!” teriaknya.
Ia berdiri lagi, menahan sakit. Dalam bayangan Nabau, ia teringat wajah ibunya, desa yang dulu tenang, anak-anak yang berlari di ladang padi, dan sungai yang dulu jernih. Semuanya menunggu. Semuanya percaya padanya.
Dengan teriakan yang menggema di seluruh lembah, ia melompat dan menancapkan Mandau ke tubuh Nabau. Suara raungan mengguncang langit. Batu hijau bercahaya di dada makhluk itu bergetar dan retak. Tirta menancapkan pedangnya sekali lagi, hingga batu itu pecah menjadi dua dan memancarkan cahaya yang menyilaukan dunia.
Ledakan besar mengguncang bumi. Tirta terlempar ke belakang, terlindung oleh batu besar. Saat ia membuka mata, langit telah berubah — awan hitam sirna, cahaya mentari menembus daun-daun basah, burung enggang terbang tinggi memekikkan lagu kebebasan.
Nabau menghilang bersama kabut terakhir. Sungai Kapuas mengalir jernih lagi. Hutan bernafas lega. Tirta berlutut di tanah basah, dadanya naik turun, matanya menatap langit. Ia tersenyum dalam lelahnya.
“Sudah berakhir,” bisiknya. “Kalimantan hidup lagi.”
Berita itu menyebar cepat. Warga desa menyalakan api unggun, menari di bawah bulan, menyebut nama Tirta Gayu dalam lagu dan doa. Tapi pemuda itu tak ingin disebut pahlawan. Ia hanya duduk di tepi sungai, memandangi air yang kini berkilau lembut.
“Kadang,” katanya pelan pada dirinya sendiri, “musuh terbesar bukan makhluk raksasa, tapi rasa takut yang tumbuh di dalam diri.”
Angin hutan membelai wajahnya. Daun-daun berguguran, seolah bertepuk tangan. Dalam cahaya senja yang temaram, Tirta tahu: perjuangan sejati bukan hanya melawan kegelapan dunia, tapi menjaga cahaya agar tetap hidup di dalam hati manusia.
Karena keberanian seorang pemuda bisa menjadi awal bagi terang sebuah bangsa.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen