Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Kita Unik!

Kita Unik!

(Cerpen bertema Sumpah Pemuda)
Karya: Peserta Didik Kelas XII YD {Juara 3 Lomba Menulis Cerpen}

Mentari pagi menyapa lembut halaman SMA Swasta Panca Setya, sekolah yang berdiri kokoh di tengah kota Kalimantan. Dari kejauhan, terdengar sorak siswa yang berbaur dengan semilir angin. Sekolah ini terkenal karena kedisiplinannya, tapi lebih dari itu, karena semangat persatuannya yang kian tumbuh di dada generasi mudanya.

Di antara keramaian itu, Sera, gadis Dayak dari pedalaman, menatap bangunan sekolah dengan mata berbinar. “Aku harus membuktikan bahwa anak kampung juga bisa berbuat sesuatu,” gumamnya pelan. Ia melangkah mantap menuju aula tempat rapat pertama Genpasi — Generation of Pancasila, organisasi baru yang menumbuhkan semangat persatuan di tengah keberagaman.

Sera duduk bersama Rosa dan Teresa, dua sahabatnya sesama Dayak. Tak lama, bergabung pula Ayu dari Jawa, Dimas yang periang, Christian dari Batak, dan Toni dari Papua. Mereka bertujuh mendapat tugas besar: menyiapkan proyek drama bertema “Sumpah Pemuda dan Keberagaman Nusantara.”


Api Kecil di Tengah Aula

Hari pertama latihan berlangsung penuh semangat. Ide-ide bermunculan seperti kembang api di langit malam. Namun, ketika menentukan tema utama pementasan, api kecil mulai menyala.

“Menurutku, adat Jawa saja yang ditampilkan. Supaya lebih tertib dan berwibawa,” kata seorang siswa sambil mengangkat tangan.

“Tidak bisa! Adat Batak itu gagah dan lantang, lebih cocok!” seru siswi lain menimpali.

“Tapi adat Timur lebih eksotis! Jarang ditampilkan!” teriak yang lain lagi.

Suasana mendadak panas. Suara tumpang tindih seperti riuh ombak menghantam karang. Beberapa siswa mulai saling menyindir.
Dimas mencoba menenangkan, namun gagal. Christian mengernyit, Toni berdiri dan menepuk meja.

“Teman-teman! Kita datang bukan untuk adu hebat suku siapa. Kalian lupa apa nama organisasi kita?” katanya tegas. “Genpasi — Generation of Pancasila! Kita bukan memisahkan, tapi menyatukan!”

Namun suara Toni justru menambah hening. Semua terdiam, tapi tatapan mereka masih penuh ego. Sera maju perlahan.


Suara dari Hati

“Teman-teman,” ucap Sera lembut, “aku datang dari pedalaman. Dulu aku pikir, karena aku orang Dayak, aku berbeda dan tak akan diterima. Tapi di sekolah ini aku belajar, perbedaan itu bukan alasan untuk berjarak. Justru di sanalah keindahan Indonesia tumbuh.”

Ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah yang mulai luluh.
“Adat Jawa, Batak, Papua, Dayak—semuanya seperti warna di pelangi. Mana mungkin pelangi indah jika hanya satu warna?”

Kata-kata Sera mengalir seperti sungai yang menyejukkan tanah kering. Rosa dan Ayu menatapnya bangga. Toni tersenyum kecil.

Christian menghela napas panjang. “Kau benar, Sera. Aku terlalu bangga sampai lupa bahwa kebanggaan sejati adalah ketika kita bisa berjalan berdampingan.”

Sera menatap mereka dengan senyum yang jujur. “Mari kita jadikan drama ini bukan tentang suku siapa yang paling hebat, tapi tentang betapa hebatnya kita ketika bersatu.”


Latihan yang Mengubah Segalanya

Sejak hari itu, latihan berubah menjadi pertemuan yang penuh tawa dan saling belajar. Ayu mengajarkan gerak tari Jawa yang anggun, Christian memperkenalkan tortor Batak, Toni memperlihatkan gerak tari perang Papua yang gagah, sedangkan Sera menunjukkan tarian Dayak yang lembut dan mistis.

Setiap langkah mereka seperti benang warna-warni yang dijahit menjadi satu kain kebangsaan. Saat gendang dipukul, irama mengalun seperti detak jantung Indonesia yang satu—berbeda-beda namun berpadu.

Mereka bukan sekadar menyiapkan drama, tapi menulis kisah tentang kita—anak muda yang menolak dipecah oleh perbedaan.


Pentas Sumpah Pemuda

Hari itu tiba. Aula sekolah dipenuhi siswa, guru, dan orang tua. Lampu sorot menyinari panggung yang dihiasi motif batik, ukiran Dayak, dan anyaman Papua. Ketujuh siswa berdiri dalam busana adat masing-masing.

Ketika musik mengalun, mereka bergerak dalam harmoni. Sera berdiri di tengah, lalu berkata dengan suara lantang:

“Kami, putra dan putri Indonesia,
Berbeda warna kulit, bahasa, dan adat,
Tapi kami satu jiwa, satu langkah, satu tanah air!”

Suara mereka menggema hingga ke seluruh ruangan. Penonton berdiri memberi tepuk tangan panjang. Beberapa guru menitikkan air mata.

Dalam sorot lampu yang mulai meredup, Sera menatap teman-temannya. “Inilah arti Sumpah Pemuda,” bisiknya. “Bukan sekadar diucapkan, tapi dihidupi.”


Epilog

Setelah acara, kepala sekolah menghampiri mereka. “Kalian telah menunjukkan arti sebenarnya dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika,” katanya dengan bangga.

Sera menatap langit sore yang mulai jingga. Awan berarak seperti bendera merah putih yang terbentang di ufuk barat. Ia tersenyum, merasa kecil tapi berharga—seperti titik warna dalam lukisan besar bernama Indonesia.

Karena kita berbeda bukan untuk bersaing,
tapi untuk saling melengkapi.
Karena kita unik—dan itulah yang membuat kita Indonesia.


Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen