Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Lilin Kecil di Tengah Badai

Di sudut kota yang semakin sesak, di bawah jembatan beton yang dingin, seorang lelaki duduk memeluk lututnya. Angin malam berdesir membawa aroma asap kendaraan bercampur bau tanah yang lama tak tersiram hujan. Ia menatap jauh ke arah lampu-lampu jalan yang berkelip, seperti bintang yang terperangkap di langit buatan manusia.

“Pikirku selalu lurus akan kebenaran,” gumamnya lirih, seakan meyakinkan dirinya sendiri. “Kebenaran yang tidak bisa kututupi, meskipun aku dicaci maki, dicemooh, disakiti, bahkan dibuang dengan cara-cara tidak manusiawi.”

Suara itu tenggelam di tengah deru mesin dan langkah terburu-buru orang-orang yang bahkan tak menoleh ke arahnya. Namun di dalam dirinya, masih ada nyala kecil yang tak pernah padam: lilin kebenaran. Meski apinya mungil dan rapuh, ia percaya sinarnya mampu menembus gelap yang kian pekat.

Hidup baginya adalah jalan panjang penuh batu tajam. Ia pernah bekerja sebagai buruh bangunan yang tak dibayar, pernah menjadi saksi korupsi yang menggerogoti dana bantuan masyarakat, pernah pula menolak untuk ikut dalam arus suap yang sudah dianggap biasa. Harga yang harus dibayarnya mahal: pekerjaannya lenyap, namanya tercemar, dan keluarganya menjauh karena takut ikut terseret.

Kini ia terdampar di sini, di bawah jembatan, merenungi nasibnya yang kian tak punya arah. Entah lurus atau bengkok jalan yang ia lalui, kakinya tetap bergerak—meski tergopoh, meski goyah. Nafasnya ia atur perlahan, mengikuti irama langkah yang kian rapuh. Di luar ia tampak kokoh, wajahnya keras seperti batu, tetapi di dalam sanubarinya ia retak, seperti kaca yang menahan tekanan.

Di atasnya, lampu-lampu jalan berpendar kekuningan. Ia teringat kata-kata ibunya dulu: “Nak, hidup ini hanya titipan. Kau hanya penumpang sebentar. Jangan kau nodai dirimu dengan dusta.” Kata-kata itu kini menjadi jangkar yang menahannya agar tidak hanyut dalam arus kepalsuan yang semakin deras.

Dunia yang ia lihat hari ini bukan lagi seperti dulu. Kejujuran dianggap aneh, ketulusan dipandang naif, dan orang yang mencoba bersih justru disingkirkan. Orang-orang berlomba mengejar uang, jabatan, dan citra, seakan hidup ini bukanlah titipan, melainkan milik abadi. Lelaki itu sering bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah aku yang salah? Atau dunia yang berubah?”

Namun setiap kali pertanyaan itu menyeruak, ia mengingat lilin kecilnya—keyakinan yang ia pegang erat. Mungkin lilin itu tidak cukup untuk mengubah dunia, tapi setidaknya cukup untuk menjaga dirinya tetap manusia.

Suatu malam, ketika hujan turun deras dan mengguyur jalanan kota, ia duduk bersandar pada tiang jembatan. Air mengalir deras di bawah, memantulkan cahaya lampu menjadi serpihan emas. Di tengah suara hujan, ia menulis sesuatu pada selembar kertas lusuh yang selalu ia bawa: “Hidup adalah bara api yang membara. Terbakar itu sakit, tapi dari sakit itu kita ditempa.”

Tulisan itu seperti mantra yang ia ulang-ulang. Ia tahu, hidup tidak selalu memberi indah pada waktunya. Kadang “waktu yang indah” itu tak pernah tiba. Namun ia belajar untuk menikmati setiap hempasan angin, setiap gelora bara api yang membakar. Ia belajar bahwa luka tidak selalu musuh; kadang luka adalah guru yang paling jujur.

Di seberang jalan, lampu-lampu gedung tinggi berkedip. Orang-orang berseliweran dengan payung-payung mahal, wajah-wajah sibuk yang tak lagi punya waktu saling menatap. Lelaki itu melihat dirinya di cermin masyarakat: orang kecil yang terlupakan, menjadi korban sistem yang tak adil. Namun ia juga melihat orang lain yang diam-diam berjuang, seperti dirinya—penjual kaki lima yang jujur, ibu yang tetap menolak suap untuk anaknya masuk sekolah, petugas kecil yang menahan godaan amplop tebal.

Ia sadar, ia tidak sendiri. Lilin-lilin kecil itu ada di mana-mana, meski tersembunyi. Mungkin saat ini nyala mereka redup, tapi bila suatu hari berkumpul, mereka bisa menjadi obor.

Ia berdiri, menggigil. Nafasnya berat tapi matanya menyala. “Aku akan tetap berjalan,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku akan tetap menggenggam nadiku sendiri, meskipun kakiku rapuh. Karena lilin ini bukan hanya untukku, tapi untuk orang lain yang masih percaya.”

Dan malam itu, di bawah jembatan kota yang dingin, lelaki itu melangkah pergi. Bayangannya panjang terseret lampu jalan, seperti garis tipis yang memisahkan gelap dan terang.

Dalam hatinya, ia tahu ia hanyalah satu dari sekian banyak manusia semu yang menempuh hidup penuh misteri. Tapi ia juga tahu, selama lilin kecil itu menyala, ia tak benar-benar hilang. Karena meski dunia sering tampak bengkok, kebenaran selalu menemukan jalannya—meskipun harus lewat langkah-langkah yang tergopoh dan hati yang nyaris patah.

Renungan

Hidup memang sering tidak adil. Orang jujur kerap disingkirkan, sementara mereka yang licik justru dipuja. Namun, di balik semua itu, ada kekuatan kecil yang tak boleh padam: kejujuran, kesetiaan pada hati nurani, dan keyakinan bahwa hidup ini hanyalah titipan.

Kita mungkin hanya lilin kecil di tengah badai, tapi tanpa cahaya kecil itu, kegelapan akan semakin pekat. Maka jangan pernah meremehkan langkah kecil, keputusan jujur, atau suara hati yang kita jaga. Karena dari lilin-lilin kecil itulah, suatu hari, cahaya besar akan lahir dan mengubah dunia.

Renungan dalam Terang Iman Katolik

Dalam iman Katolik, hidup sungguh benar hanyalah titipan. Kitab Suci mengingatkan, “Kamu adalah garam dunia… kamu adalah terang dunia” (Mat 5:13-14). Garam menjaga agar dunia tidak membusuk, dan terang memberi arah di tengah gelap. Lelaki dalam cerita ini adalah gambaran kecil dari panggilan setiap orang beriman: setia menjaga lilin kebenaran, meski harus dicaci, ditolak, bahkan dikorbankan.

Ketekunan dalam penderitaan adalah jalan salib yang tak asing bagi kita. Yesus sendiri telah menunjukkan bahwa kebenaran sering berbiaya mahal. Namun, sebagaimana salib diakhiri dengan kebangkitan, demikian pula kesetiaan kita akan menemukan maknanya di hadapan Allah.

Hidup ini hanyalah titipan, tetapi titipan yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab. Gereja mengajarkan bahwa setiap tindakan jujur, sekecil apa pun, adalah kesaksian iman. Lilin kecil kejujuran yang kita nyalakan di tengah kegelapan dunia adalah bagian dari terang Kristus sendiri.

Maka, meskipun dunia sering bengkok, kita dipanggil untuk tetap lurus; meskipun lilin kita kecil, jangan biarkan ia padam. Sebab pada akhirnya, “kebenaran akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32).

Penulis: Mr. Anonim