Stay Updated with Agro Cultures News

24K subscribers

Diam bibendum nullam quis, placerat mattis ultrices, rutrum porttitor posuere sit curae amet cubilia quam, ante velit pretium.

Interdum nullam est, aliquam consequat, neque sit ipsum mi dapibus quis taciti. Ullamcorper justo, elementum pellentesque gravida quisque.

Bahasa yang Menjadi Tuan di Tanahnya Sendiri

Bahasa yang Menjadi Tuan di Tanahnya Sendiri

(Cerpen Inspiratif Bertema Sumpah Pemuda)
Karya: Peserta Didik Kelas X JN {Juara 1 Lomba Menulis Cerpen}

Senja menurunkan cahaya keemasan di atas kota yang kian renta oleh waktu. Di sudut jalan yang berdebu, berdiri sebuah warung tua dengan aroma kopi dan tembakau yang berpadu seperti dua sahabat lama yang enggan berpisah. Radio kecil di pojok warung memutar lagu K-Pop pelan, terdengar sumbang di tengah deru kendaraan sore.

Di meja dekat jendela, Rakha, pemuda dua puluh tahun, duduk menatap layar laptop. Di dalamnya, ia sedang menyunting video tentang budaya nusantara: tarian tradisional, sawah hijau, dan senyum anak-anak desa. Tapi alunan musik latar yang ia pasang justru lagu asing—berbahasa Inggris, cepat, dan modern.

Dari balik meja kasir, Pak Salim, pemilik warung, menatapnya dengan mata teduh yang seolah memantulkan masa lalu. Tangan tuanya menyiapkan secangkir kopi hitam, pekat seperti pengalaman hidupnya. Di meja seberang, Naya, mahasiswi antropologi budaya, menatap lembar-lembar buku berbahasa Inggris, sesekali mencatat sesuatu di kertas kusam.

Suara kursi bergeser memecah keheningan.
“Ini kopinya, Nak,” kata Pak Salim lembut. “Tapi saya heran, ya… anak muda sekarang senang benar mencampur bahasa. Kadang saya bingung, ini Indonesia atau bukan?”

Rakha tersenyum kecil tanpa menoleh. “Zaman sudah berubah, Pak. Bahasa juga ikut menyesuaikan. Sekarang siapa sih yang nggak pakai bahasa asing? Dunia sudah global.”

Naya menutup bukunya pelan, menatap Rakha dengan tenang namun tajam. “Tapi kamu sedang buat video tentang budaya Indonesia, kan? Kalau begitu, kenapa musiknya bukan lagu daerah?”

Rakha mengangkat bahu. “Supaya menarik. Kalau pakai lagu tradisional, siapa yang mau nonton? Harus ngikut tren biar viral.”

“Menarik bukan berarti harus meniru luar,” balas Naya pelan. “Kalau terus begitu, kapan bahasa dan budaya kita bisa jadi tuan di tanahnya sendiri?”

Kata-katanya jatuh seperti batu ke danau tenang—menciptakan riak dalam benak Rakha. Namun ia tetap membisu.

Pak Salim tersenyum samar, menyeruput kopinya, lalu bersuara. “Nak Rakha, dulu pemuda-pemudi negeri ini pernah berikrar, tahun 1928. Mereka bersumpah satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia. Mereka tak mencari pengakuan dunia. Mereka sedang membangun jembatan agar kita bisa saling memahami tanpa batas suku dan daerah.”

Hening sejenak. Hanya suara angin sore yang masuk lewat jendela, menggoyang tirai lusuh seperti melambaikan kenangan masa silam.

Rakha menatap layar laptopnya. Video berhenti di wajah seorang bocah desa yang menyanyikan lagu daerah dengan polos, tanpa terjemahan. Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya—halus, tapi nyata.

“Bahasa Indonesia,” pikirnya lirih, “dulu lahir dari semangat persatuan. Tapi aku malah membuatnya seperti bayangan di negeri sendiri.”

Naya menatapnya dengan mata yang lembut namun mantap. “Kita boleh fasih berbahasa asing, Rakha. Tapi jangan sampai bahasa kita sendiri kehilangan tempat di hati kita.”

Pak Salim meletakkan cangkir kopinya. “Nak, bahasa itu bukan cuma alat bicara. Ia adalah jiwa bangsa. Kalau kau biarkan ia pudar, sama saja membiarkan jiwamu hilang arah.”

Kalimat itu menancap dalam. Rakha diam lama, mendengarkan detak jam tua di dinding warung yang berdetak seperti napas masa lalu.

Akhirnya, ia menutup laptopnya. “Mungkin selama ini aku sibuk mengejar sorotan luar, sampai lupa cahaya yang lahir dari dalam,” ucapnya lirih. “Terima kasih, Pak. Terima kasih, Naya.”


Cahaya Baru dari Warung Tua

Malam turun perlahan. Lampu warung temaram, memantulkan warna kuning lembut di meja kayu. Rakha membuka kembali laptopnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, tapi kini dengan arah yang berbeda.

Musik latar ia ganti dengan lagu daerah Kalimantan, lembut dan sarat makna. Dalam video itu, anak-anak menari di tanah basah, perempuan menumbuk padi, dan lelaki tua memahat kayu dengan sabar. Lalu muncul narasi yang ia tulis sendiri, suaranya tenang namun bergetar:

“Bahasa adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Ia bukan sekadar kata, tapi nadi bangsa.
Bila ia pudar, maka hilanglah denyut persatuan.”

Pak Salim menatapnya dari kejauhan, tersenyum penuh arti. “Nah, begitu baru namanya pemuda Indonesia sejati,” katanya dengan suara serak yang hangat.

Rakha menatap layar yang kini menampilkan tulisan terakhir: “Sumpah kita bukan hanya sejarah, tapi tanggung jawab yang harus dijaga.”

Di luar, langit malam bersih. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti gugusan harapan yang menolak padam. Dalam dirinya, Rakha merasa tenang—seolah baru saja menemukan kembali jati diri yang lama terselip di antara hiruk-pikuk dunia modern.


Epilog

Keesokan harinya, video Rakha tayang di media sosial. Tak viral seperti video-video lainnya, tapi komentar-komentar yang muncul membuat dadanya hangat:

“Terharu nontonnya.”
“Bangga jadi orang Indonesia.”
“Lagu daerahnya bikin merinding.”

Ia tersenyum. Kali ini bukan karena angka penonton, tapi karena pesan yang sampai.

Bahasa Indonesia, pikirnya, bukan hanya warisan. Ia adalah pelita yang menuntun arah bangsa. Dan selagi masih ada pemuda yang menjaganya, cahaya itu takkan padam—takkan pernah.


Pesan Moral:
Kita boleh terbuka pada dunia dan mempelajari bahasa asing, tetapi jangan sampai kehilangan akar sendiri. Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan simbol persatuan, cinta tanah air, dan jiwa bangsa yang harus dijaga oleh setiap generasi muda.

Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: Mr. Animasi

#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen