Perjuangan Tiga Sahabat untuk Pergi ke Sekolah
(cerpen bertema sumpah pemuda)
Karya: Peserta didik Kelas XI SE
Mentari belum sepenuhnya terbit ketika tiga sahabat, Saman, Joko, dan Kasih, melangkah meninggalkan rumah mereka di sebuah desa kecil di pinggiran hutan. Embun masih menempel di ujung daun, dan jalan tanah yang mereka lalui terasa licin oleh sisa hujan semalam. Di pundak masing-masing, tergantung tas lusuh berisi buku-buku yang sudah mulai usang, tapi semangat di dada mereka tetap baru setiap pagi.
Saman berjalan paling depan, langkahnya mantap dan tegap. Ia dikenal sebagai pemuda yang berani dan tak mudah menyerah. Di belakangnya, Joko dan Kasih berbincang ringan sambil tertawa kecil, mencoba melawan rasa kantuk yang masih melekat. Hari itu sama seperti hari-hari sebelumnya — perjuangan panjang menuju sekolah.
Namun, langit tiba-tiba berubah muram. Awan kelabu menutupi matahari, dan angin mulai bertiup kencang membawa aroma hujan. Suara petir samar terdengar di kejauhan.
Joko menatap langit dengan wajah cemas. “Bagaimana ini, teman-teman? Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Perjalanan kita masih jauh.”
Kasih ikut gelisah, menggigit bibirnya. “Iya, aku juga takut kalau seragam kita basah. Jalan di depan sana kan banyak yang rusak. Bisa-bisa kita terpeleset atau malah jatuh ke kubangan.”
Saman menatap kedua sahabatnya dengan sorot tegas namun hangat. “Tenang, jangan panik. Kita pasti bisa melewati ini kalau kita bersama-sama. Ingat, tujuan kita lebih besar dari sekadar rasa takut.”
Ucapan Saman seperti bara yang menyalakan semangat mereka kembali. Mereka menatap satu sama lain, lalu melangkah lagi, menembus jalanan yang mulai diguyur gerimis.
Hujan turun semakin deras, membasahi rambut dan pakaian mereka. Angin menampar wajah, membuat langkah terasa berat. Namun ketiganya tak berhenti. Setiap tetes hujan seakan menguji keteguhan hati mereka untuk menuntut ilmu — seperti ujian kecil bagi semangat muda yang belum mengenal kata menyerah.
Tiba-tiba, suara keras terdengar. Kraak!
Dahan pohon besar di tepi jalan patah diterpa angin, jatuh menimpa kaki Joko.
“ARRGGHH!! Teman-teman! Tolong aku!” teriaknya kesakitan.
Saman dan Kasih sontak berhenti. Tanpa pikir panjang, mereka berlari menghampiri Joko yang terbaring di tanah. Dahan besar menimpa kakinya, membuat wajahnya pucat menahan sakit.
“Joko! Apa kamu baik-baik saja?” tanya Saman sambil berusaha mengangkat batang pohon itu. Napasnya terengah-engah, tapi ia tak berhenti berusaha. Kasih ikut membantu, memindahkan ranting dan batu yang menghalangi. Bersama-sama, mereka akhirnya berhasil mengangkat dahan itu dari kaki Joko.
“Aku… aku rasa kakiku luka,” ucap Joko lirih, wajahnya menahan perih. “Sepertinya aku tidak bisa berjalan.”
Kasih menatap luka di kaki Joko yang mulai berdarah. “Ya Tuhan, Joko, kamu harus diobati.”
Namun Saman menggeleng tegas. “Tidak, kita harus terus ke sekolah. Aku dan Kasih akan membantumu. Kita tidak boleh menyerah di tengah jalan.”
Joko menatap dua sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku tidak mau kalian repot.”
Kasih tersenyum. “Bukankah kita sahabat? Kalau kamu terluka, artinya kami juga terluka. Jadi, kita harus sampai bersama.”
Dengan perlahan, Saman dan Kasih merangkul Joko. Langkah mereka semakin berat, tapi tekad yang mereka miliki justru semakin kuat.
Hujan semakin reda, berganti gerimis lembut yang jatuh seperti doa dari langit. Langkah mereka kini basah kuyup, pakaian melekat di kulit, tapi semangat mereka tetap menyala. Setiap kali Joko ingin menyerah, Saman akan berkata, “Ingat, ilmu itu cahaya. Tak ada badai yang bisa memadamkan cahaya kalau kita melindunginya bersama.”
Kasih menimpali, “Kalau kita berhenti sekarang, apa gunanya kita berjanji pada diri sendiri untuk menjadi anak yang berani?”
Kata-kata itu seperti suntikan kekuatan. Di tengah jalan becek, di bawah sisa rintik hujan, tiga sahabat itu terus berjalan. Mereka seperti tiga lilin kecil yang menolak padam di tengah badai.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang, mereka melihat atap sekolah menjulang di kejauhan. Hati mereka berdegup kencang. Setiap langkah terasa seperti kemenangan.
Begitu sampai di gerbang sekolah, tubuh mereka lelah, pakaian mereka kotor dan basah, tapi senyum terukir di wajah masing-masing. Guru dan teman-teman yang melihat mereka terkejut sekaligus kagum.
Kasih segera mencari kotak P3K dan membantu membersihkan luka di kaki Joko. “Sabar ya, ini pasti sakit.”
Joko tersenyum, menahan perih. “Tidak apa-apa. Luka ini kecil dibanding perjuangan kita hari ini.”
Saman menepuk pundak dua sahabatnya. “Kita berhasil sampai, bukan karena jalan yang mudah, tapi karena kita saling menguatkan. Kalau kita bersatu, tak ada yang mustahil.”
Ketiganya saling pandang, lalu tertawa pelan. Tawa yang sederhana tapi penuh makna — tawa kebersamaan yang lahir dari perjuangan.
Sejak hari itu, nama Saman, Joko, dan Kasih dikenal di sekolah mereka. Guru sering menjadikan kisah mereka sebagai contoh tentang ketekunan dan kerja sama. Mereka bukan hanya anak desa biasa, tapi simbol kecil dari semangat besar yang dimiliki setiap pemuda Indonesia.
Karena sejatinya, perjuangan menuju sekolah bukan hanya perjalanan menuntut ilmu, tetapi juga perjalanan membentuk jiwa — jiwa yang pantang menyerah, peduli, dan setia pada tujuan.
Redaktur/Penyunting Teks: TIM Redaksi Sanrosven
Editor Gambar: TIM Redaksi Sanrosven
#TimMultimedia
#RedaksiSanrosven
#SMASPancaSetyaSintang
#SumpahPemuda
#Lomba_Menulis_Cerpen