SMAS PANCA SETYA SINTANG
SMAS PANCA SETYA SINTANG

Tradisi Engkanek Tanah: Harmoni Manusia dan Alam Dayak Iban
Di sebuah sudut dunia yang hijau dan penuh pesona, tersembunyi kisah tentang kearifan suku Dayak Iban, masyarakat adat yang mendiami wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di tengah rimba tropis yang lebat dan aliran sungai yang tenang, hidup sebuah tradisi yang disebut Engkanek Tanah, upacara sakral yang mencerminkan hubungan mendalam antara manusia dan alam. Bagi masyarakat Dayak Iban, tanah bukanlah benda mati, melainkan makhluk hidup yang memiliki jiwa, roh, dan martabat yang harus dihormati. Melalui Engkanek Tanah, mereka mengekspresikan rasa syukur, penghormatan, dan doa agar keseimbangan antara manusia dan alam tetap terjaga.
Dalam cerita turun-temurun yang diwariskan secara lisan, dikisahkan bahwa nenek moyang Dayak Iban menerima anugerah dari roh penjaga hutan yang memberi kehidupan kepada tanah. Sejak saat itu, tanah dianggap suci, dan setiap aktivitas pertanian harus diawali dengan doa serta persembahan kepada semangat alam. Filosofi yang mereka pegang begitu sederhana, namun sarat makna: manusia bukan penguasa atas alam, melainkan bagian kecil dari ekosistem yang besar. Setiap tindakan yang tidak menghormati tanah dipercaya dapat membawa bencana, baik bagi manusia maupun bagi lingkungan sekitarnya.
Ketika musim tanam tiba, masyarakat Dayak Iban memulai persiapan lahan dengan penuh kehati-hatian. Sebelum cangkul pertama menyentuh bumi, mereka menggelar ritual Besampi, sebuah doa bersama yang ditujukan kepada roh penjaga tanah sebagai tanda permohonan izin untuk memulai pekerjaan. Dalam upacara itu, sesaji seperti pulut, sirih, dan tuak disusun dengan rapi sebagai simbol rasa syukur dan permohonan berkah. Setiap elemen sesaji memiliki makna spiritual: pulut melambangkan kemakmuran, sirih melambangkan kesuburan, dan tuak menjadi simbol kekuatan serta kebersamaan.
Setiap tahap dalam siklus pertanian diiringi oleh ritual yang sarat nilai. Selama masa tanam, masyarakat harus menjaga pantangan tertentu. Mereka tidak boleh menempa besi, menenun kain, atau mencukur rambut, karena diyakini dapat mengganggu roh padi yang sedang tumbuh. Padi bagi mereka bukan sekadar tanaman, tetapi makhluk yang memiliki semangat hidup, yang perlu disambut dengan hormat dan kasih sayang. Saat padi mulai tumbuh, diadakan ritual untuk memanggil semangat padi agar tumbuh subur dan terlindung dari hama. Ketika masa panen tiba, seluruh komunitas berkumpul dalam suasana penuh kegembiraan, mempersembahkan doa dan ucapan syukur kepada alam yang telah memberi kehidupan.
Ritual terakhir yang disebut Basuh Arang menjadi penutup dari seluruh rangkaian upacara. Dalam prosesi ini, alat-alat pertanian dibersihkan dengan air suci, disertai doa-doa permohonan maaf atas segala kesalahan yang mungkin dilakukan selama masa bertani. Bagi masyarakat Dayak Iban, ritual ini bukan hanya bentuk pembersihan fisik, tetapi juga penyucian batin—rekonsiliasi antara manusia dan alam yang mereka cintai.
Setiap unsur dalam upacara Engkanek Tanah mengandung simbolisme yang dalam. Pulut dan sirih menjadi lambang kesuburan dan kehidupan baru, tuak melambangkan kebersamaan dan kekuatan, sementara tanah yang disiram air suci menjadi wujud doa bagi keseimbangan dan perlindungan. Melalui simbol-simbol tersebut, masyarakat belajar menghormati siklus alam dan mengakui bahwa kehidupan mereka tidak dapat dipisahkan dari bumi tempat mereka berpijak.
Dari tradisi ini, masyarakat Dayak Iban mewarisi banyak nilai moral dan sosial. Mereka belajar tentang kebersamaan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap alam. Setiap anggota komunitas memiliki peran masing-masing, mulai dari menyiapkan sesaji hingga memanjatkan doa. Proses kebersamaan itu menumbuhkan semangat gotong royong dan memperkuat ikatan sosial antarwarga. Tradisi Engkanek Tanah juga mengajarkan rasa syukur yang mendalam atas hasil panen, serta kesadaran bahwa manusia hidup karena kemurahan alam, bukan semata karena kekuatan sendiri.
Namun, arus modernisasi membawa tantangan besar bagi kelestarian tradisi ini. Perubahan zaman, komersialisasi tanah, dan berkurangnya hutan adat membuat sebagian generasi muda mulai menjauh dari akar budaya mereka. Nilai-nilai sakral mulai tergeser oleh pandangan pragmatis terhadap alam. Meski demikian, masih ada kelompok masyarakat Dayak Iban yang setia menjaga tradisi ini. Mereka terus memperkenalkannya kepada generasi muda melalui pendidikan adat dan kegiatan budaya. Beberapa bahkan menjadikan Engkanek Tanah sebagai daya tarik wisata budaya, agar dunia luar mengenal dan menghargai kearifan lokal mereka.
Tradisi Engkanek Tanah membawa pesan penting bagi kehidupan modern. Ketika manusia semakin jauh dari alam dan terjebak dalam hiruk pikuk pembangunan, tradisi ini hadir sebagai pengingat bahwa tanah yang kita pijak adalah sumber kehidupan yang harus dijaga. Ia menegaskan bahwa keseimbangan antara manusia dan alam adalah kunci keberlangsungan hidup. Tanah bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga titipan bagi generasi mendatang.
Meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai yang terkandung dalam Engkanek Tanah tetap relevan. Ia mengajarkan tentang kesederhanaan, rasa hormat, kerja sama, dan tanggung jawab ekologis. Melalui tradisi ini, masyarakat Dayak Iban menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi panduan moral dalam menghadapi dunia modern yang penuh tantangan. Selama manusia masih menjejak bumi, selama daun masih hijau dan sungai masih mengalir, Engkanek Tanah akan terus hidup sebagai simbol cinta, keharmonisan, dan rasa syukur terhadap alam yang memberi kehidupan.
Nama: Maria Agustin Uray
Kelas: X Stanislaus Kostka (A8)
Mata Pelajaran: Bahasa Indonesia