SMAS PANCA SETYA SINTANG
SMAS PANCA SETYA SINTANG

Tradisi Tiwah: Perjalanan Roh Menuju Kedamaian Abadi Suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah
Di sebuah desa di pedalaman Kalimantan Tengah, gong bergema menandai dimulainya sebuah ritual sakral yang telah diwariskan sejak zaman nenek moyang. Inilah Tiwah, tradisi suci masyarakat Dayak Ngaju yang bertujuan mengantarkan roh orang yang telah meninggal menuju Lewu Tatau, tempat peristirahatan abadi menurut kepercayaan Kaharingan. Bagi masyarakat Dayak Ngaju, Tiwah bukan sekadar upacara kematian, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia roh, serta simbol penghormatan kepada leluhur yang telah lebih dulu menempuh jalan keabadian.
Masyarakat Dayak Ngaju meyakini bahwa setiap jiwa yang meninggalkan dunia ini harus melalui proses penyucian agar dapat mencapai kedamaian. Tanpa ritual Tiwah, roh diyakini akan tersesat di alam antara, mengganggu keseimbangan antara dunia roh dan dunia manusia. Karena itu, Tiwah dianggap sebagai kewajiban suci yang harus dilaksanakan demi menjaga keharmonisan semesta. Kepercayaan ini mencerminkan pandangan hidup masyarakat Dayak Ngaju bahwa kehidupan tidak berhenti pada kematian, melainkan berlanjut dalam wujud spiritual yang tetap terhubung dengan keluarga dan alam sekitarnya.
Tradisi Tiwah telah dijalankan sejak nenek moyang Dayak Ngaju mendiami tanah Kalimantan. Dalam kepercayaan Kaharingan, ritual ini merupakan jalan suci yang membuka gerbang menuju kehidupan abadi. Di masa lampau, Tiwah dilaksanakan dengan penuh kekhidmatan, melibatkan doa-doa adat, tarian sakral, dan pengorbanan hewan sebagai tanda bakti kepada Sang Pencipta. Prosesi tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab keluarga almarhum, tetapi juga melibatkan seluruh komunitas, mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Dayak.
Pada hari pelaksanaan, suasana desa berubah menjadi sakral dan meriah sekaligus haru. Masyarakat datang dari berbagai penjuru, membawa sesaji, memainkan alat musik tradisional, dan mengenakan pakaian adat berwarna cerah. Di tengah lapangan upacara berdiri Sandung — rumah tulang yang telah dihias dengan ukiran khas Dayak — tempat di mana tulang-belulang orang yang meninggal akan dipindahkan dari makam sementara. Pemindahan tulang ini dipimpin oleh dukun adat yang membaca mantra suci untuk menuntun roh agar menerima upacara dengan damai. Sandung bukan sekadar tempat penyimpanan, melainkan simbol kehidupan abadi dan bukti bahwa roh telah diterima di alam leluhur.
Salah satu momen paling sakral dalam Tiwah adalah pengorbanan seekor kerbau, hewan yang dipercaya sebagai kendaraan roh menuju Lewu Tatau. Pengorbanan ini dilakukan dengan penuh penghormatan. Darah kerbau diteteskan di altar sebagai lambang penyucian, sementara dagingnya dibagikan kepada seluruh peserta upacara. Bagi masyarakat Dayak Ngaju, tindakan ini bukan kekerasan, melainkan bentuk pengorbanan suci — simbol ikatan antara dunia manusia dan dunia roh. Bersamaan dengan itu, sesaji berupa makanan, minuman, dan barang-barang pribadi juga dipersembahkan bagi roh yang berangkat, sebagai bekal dalam perjalanan menuju keabadian.
Dalam setiap tahap upacara, peran dukun adat sangat penting. Mereka menjadi penghubung antara dunia roh dan manusia, memastikan bahwa seluruh prosesi berjalan sesuai dengan ajaran leluhur. Dengan suara yang tenang dan gerak yang penuh makna, mereka membacakan mantra suci, memimpin doa, dan menuntun keluarga yang berduka untuk melepas kepergian dengan hati yang ikhlas. Bagi masyarakat Dayak Ngaju, kesempurnaan ritual Tiwah menentukan ketenangan roh. Karena itu, setiap detail dijalankan dengan teliti dan penuh penghayatan.
Tiwah bukan hanya sebuah ritual perpisahan, melainkan juga perayaan kehidupan. Seluruh desa bersatu, saling membantu dalam persiapan dan pelaksanaan. Para perempuan menyiapkan hidangan dan sesaji, sementara para laki-laki membangun altar, memperindah Sandung, dan menyiapkan perlengkapan upacara. Dalam kebersamaan itu, duka kehilangan berpadu dengan rasa syukur atas kehidupan dan kebersamaan. Nilai gotong royong dan solidaritas yang muncul selama pelaksanaan Tiwah menjadi wujud nyata semangat kebudayaan Dayak Ngaju yang mengutamakan harmoni sosial.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Tiwah begitu dalam. Tradisi ini mengajarkan rasa hormat kepada leluhur, rasa syukur kepada Sang Pencipta, serta kesadaran bahwa kehidupan manusia tidak terpisahkan dari alam. Masyarakat percaya bahwa leluhur terus menjaga mereka, memberikan perlindungan dan keberkahan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, setiap persembahan dan doa dalam Tiwah adalah ungkapan terima kasih yang tulus kepada para pendahulu yang telah membuka jalan kehidupan.
Namun, seperti banyak tradisi lainnya, Tiwah kini menghadapi tantangan besar di era modern. Pengaruh agama, arus globalisasi, dan biaya pelaksanaan yang tinggi membuat sebagian masyarakat mulai menjauh dari tradisi ini. Generasi muda yang lebih mengenal dunia digital kadang menganggap ritual seperti Tiwah sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan. Meski demikian, banyak tokoh adat dan budayawan Dayak Ngaju terus berjuang untuk melestarikan warisan ini. Mereka memperkenalkan nilai-nilai Tiwah kepada anak muda melalui pendidikan budaya, festival adat, dan kegiatan wisata budaya yang mengangkat makna spiritual di balik ritual ini.
Beberapa adaptasi modern juga dilakukan agar Tiwah tetap relevan tanpa kehilangan esensinya. Ukuran ritual disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, sementara makna spiritual dan simbol-simbol utamanya tetap dipertahankan. Dengan cara ini, Tiwah tetap hidup dan menjadi pengingat bahwa menghormati leluhur berarti juga menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia roh.
Tradisi Tiwah mengajarkan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju kehidupan abadi. Ia menanamkan pesan tentang pentingnya keselarasan antara manusia dan alam, serta nilai kebersamaan yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Dayak Ngaju. Di tengah derasnya arus modernisasi, Tiwah berdiri tegak sebagai simbol kebanggaan budaya, pengingat bahwa akar spiritual dan tradisi adalah bagian tak terpisahkan dari jati diri manusia. Selama gong masih bergema di tanah Kalimantan dan Sandung masih berdiri di antara hutan, Tiwah akan terus hidup — menjaga harmoni antara dunia manusia dan dunia roh, serta menyampaikan pesan abadi tentang cinta, penghormatan, dan kedamaian.
Nama: Gres Anastasia
Kelas: X A3 (Santo Bruno Divui)
Mata Pelajaran: Bahasa Indonesia